Assalamu'alaykum Wr. Wb,
Beberapa penulisan saya menyangkut
sifat 'ADALATUS SHABAHAH rupanya cukup menuai kritik, alhamdulillah, itu
berarti begitu besarnya perhatian dan kasih sayang rekan-rekan terhadap diri
saya. Namun begini, pada tulisan kali ini saya akan mengajak anda berpikir
dengan jernih mengenai permasalahan 'ADALATUS SHABAHAH ini sehingga anda pun
bisa mengerti jalan pemikiran saya.
Sebelumnya saya sudah beberapa kali juga
menyinggung bahwasanya saya tidak memihak, anda boleh menyebut saya seorang
syiah, anda pun boleh menyebut saya seorang sunni tetapi buat saya pribadi
penyebutan seperti itu tidak penting, yang saya pahami, Islam adalah Islam,
tidak ada madzhab dalam Islam. Madzhab adalah cara pandang terhadap sesuatu
yang akhirnya menjadi thariqah untuk pengamalannya. Adalah bisa dimengerti dan
dipahami selama itu tidak menjerumuskan pada tingkat saling pengkafiran apalagi
saling bunuh. Jika terhadap orang kafir saja kita dilarang berbuat zalim,
apakah lagi kepada sesama muslim.
Jauhi prasangka, itulah kata kitab suci
:
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan
janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu
menggunjing sebahagian yaang lain.Sukakah salah seorang di antara kamu memakan
daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.
Dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang. -Qs. 49 al-Hujuurat :12
Bila kita melihat saudara kita berbeda
pemahaman dengan apa yang kita pahami, mari dialog, buka hati dan buka pikiran,
pergunakan dalil yang obyektif sehingga tidak terjebak dalam debat kusir yang
hanya berdasarkan emosional semata, sebab tindakan emosional tidak akan
mengantarkan pada pemecahan masalah yang baik.
Wahai orang-orang yang beriman !
Jangan sekalipun kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (bersikap subyektif); Berlakulah adil (berbuatlah obyektif) karena adil itu sangat dekat kepada taqwa - Qs. 5 al-Ma'idah : 8
Jangan sekalipun kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (bersikap subyektif); Berlakulah adil (berbuatlah obyektif) karena adil itu sangat dekat kepada taqwa - Qs. 5 al-Ma'idah : 8
Dan berangkat dari ayat ini, maka
berikut akan saya uraikan pemahaman saya mengenai sifat 'ADALATUS SHABAHAH,
mohon maaf apabila banyak nantinya yang merasa tersinggung dengan tulisan ini,
silahkan anda mendebat tulisan saya ini dengan dalil-dalil pula dan bukan
sekedar menurut anggapan anda atau ulama anu dan syaikh anu.
'ADALATUS SHABAHAH artinya sifat
keadilan sahabat, beberapa ulama hadis mempersempit makna ini menjadi
kebersihan semua shahabat dan keterbebasan mereka dari perbuatan salah, mulai
dari tindakan hingga pada ucapannya.
Penyempitan defenisi ini akhirnya
menimbulkan tindakan taklid berlebihan terhadap diri para sahabat Nabi, semua
kajian keagamaan akhirnya seringkali tidak obyektif dan manakala ada pihak yang
mencoba melakukan kritik terhadap para sahabat maka orang itu beramai-ramai
langsung dicap kafir, sesat, munafik, sok mulia dan sebagainya.
Akhirnya terjadilah jurang didunia
Islam secara berabad-abad antara kaum ahlussunah yang berkesan mendewakan
sahabat dengan kaum Syiah yang berkesan banyak memunafikkan sahabat dan malah
ada yang ekstrim sampai mengkafirkannya. Padahal masalah ini bisa kita bawa
secara obyektif dengan terlebih dahulu menanggalkan semua bentuk kefanatikan
kita terhadap masing-masing pemahaman.
Kitab suci al-Qur'an banyak memberikan
contoh bagaimana seorang Adam, seorang Musa, seorang Yunus dan seorang Muhammad
terlepas dari status kedekatan dan hubungannya dengan Allah ternyata mampu
melakukan kesalahan-kesalahan manusiawi sebagaimana fitrah dari kemanusiaan itu
sendiri. Bahkan dalam banyak ayat di al-Qur'an betapa Nabi disuruh
mengulang-ulangi ucapan : Aku ini manusia biasa seperti kamu tetapi aku diberi
wahyu ... artinya apa ? tidak lain ini sebagai bentuk teguran kepada manusia
lain diluarnya bahwa sesaleh apapun seseorang namun selama dia bernama manusia,
dia tidak akan bisa melepaskan semua sifat-sifat kemanusiawiannya.
Ada kalanya mereka mengeluh, ada
kalanya mereka menangis sedih, ada kalanya mereka tertawa, bersenda gurau,
marah, gusar, terluka bahkan terbunuh ... semua ini ada ayatnya dalam al-Qur'an
dan ini sangat rasional sekali, sangat kausalitas.
Lalu bagaimana mungkin seseorang diluar
para utusan Allah tersebut bisa dijadikan maksum, terlepas dari cacat ? ini
semua perlu kajian lebih jauh, lebih mendalam, ada yang salah dari cara kita
memahami nash-nash yang tertulis sehingga berkesan Islam itu penuh konflik
kontradiksi internal.
Padahal al-Qur'an berkata :
Maka apakah mereka tidak memperhatikan
al-Qur'an?
Kalau kiranya al-Qur'an itu bukan dari
sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. -Qs.
An-Nisa' 4:82
Tidak adanya pertentangan yang banyak
bukan berarti ada pertentangan yang sedikit, kenapa ?
Yang tidak datang kepadanya (al-Qur'an)
kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari (Tuhan)
Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. -Qs. 41:42
Berarti saat kita menemukan adanya
konflik didalam ajaran Islam sebenarnya konflik itu ada pada diri kita sendiri,
bukan pada ajaran Islam.
Aksi pengeboman berlabel jihad adalah
salah satu contoh pemahaman Islam yang salah sama salahnya dengan tindakan
negara-negara barat yang memposisikan Islam sebagai agama teroris.
Padahal Allah telah memberikan rumus
sederhana untuk memahami agama-Nya dengan baik :
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus
kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama
yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui -Qs. 30:30
Hadapkanlah mukamu kepada agama yang
tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik. -Qs.
10:105
Sederhana sekali, untuk memahami agama
kita hanya dituntut untuk mengerti fitrah kita, fitrah manusiawi.
Jangan berpikir untuk menjadikan diri
kita berfitrah malaikat sebab kita memang bukan malaikat dan memang Allah tidak
hendak menjadikan kita sebagai malaikat, oleh karena itu pula jangan menganggap
orang lain sebagai malaikat, kembalikan fitrah mereka pada haknya.
Para sahabat adalah manusia dan mari
kita memahami mereka sebagai manusia ... inilah fitrah.
Benar bahwa kita harus memperlakukan
mereka secara terhormat, bagaimanapun diantara mereka banyak yang berjuang atas
dasar penegakan Iman, mereka gugur di Badar, merekapun gugur di Uhud dan
diberbagai peperangan penegakan panji-panji Allah yang lainnya.
Tanpa mereka seorang Muhammad tidak
akan bisa berbuat banyak, Islam bisa sampai pada kita karena jasa mereka, ini
tidak perlu dipungkiri, karena itu Allah dan Rasul-Nya pun banyak mengeluarkan
pujian untuk mereka.
Akan tetapi ... jangan berhenti sampai
disini.
Karena pembelajaran kita memang belum
harus berhenti, ada banyak hal yang menggelitik hati kita apabila melihat fakta
sejarah yang berlaku dan melibatkan para sahabat.
Apakah sikap para sahabat yang berebut
kekuasaan, para sahabat yang haus kekuasaan, para sahabat yang memenggal kepala
cucu Nabi tercinta, para sahabat yang terlibat konflik berdarah sesamanya, para
sahabat yang memaki-maki keturunan Nabi ... tetap disebut 'bersifat adalah
(adil, bersih) ?
Apa benar membunuh sesama saudaranya
seiman disebut sebagai tindakan ikhtilafiah ?
Saya kok tidak yakin Allah dan Rasul-Nya
meridhoi perbuatan-perbuatan para sahabat yang saya sebutkan tadi.
Anda bacalah al-Qur'an, anda bacalah
sirah Nabawiah ... anda analisa dan renungkan kebenaran dari apa yang saya
katakan ini.
Beberapa argumentatif yang diajukan
seputar diri para sahabat, misalnya :
"Kalian adalah umat yang terbaik
yang dilahirkan untuk manusia, kalian menyuruh yang ma'ruf dan mencegah yang
mungkar dan kalian beriman kepada Allah". (Ali-Imran : 110)
"Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kalian umat yang adil dan pilihan". (Al-Baqarah : 143)
Padahal kata umat diayat-ayat tersebut
merujuk pada kaum, artinya pengikut.
Jadi disini tidak hanya berhubungan dengan sahabat saja, saat Allah menyebut umat terbaik, maka maksudnya disini adalah umat Islam, dan jika sudah berbicara masalah umat Islam maka berarti berbicara mengenai orang banyak, terlepas dari rentang ruang dan waktu.
Jadi disini tidak hanya berhubungan dengan sahabat saja, saat Allah menyebut umat terbaik, maka maksudnya disini adalah umat Islam, dan jika sudah berbicara masalah umat Islam maka berarti berbicara mengenai orang banyak, terlepas dari rentang ruang dan waktu.
Praktis, penerapan hukum terhadap umat
adalah sama, tidak ada kecuali. Jika salah ya salah. munafik ya munafik.
Argumentasi lainnya :
Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan
merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalirkan sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Itulah kemenangan yang besar". (At-Taubah : 100)
Kalau kita perhatikan ayat tersebut,
disana ada teks "..yang mengikuti mereka dengan baik ..." ; artinya
diantara mereka ada juga yang tidak baik, karena itu janji Allah hanya untuk
mereka yang baik saja, sama seperti saat Allah menjawab doa Nabi Ibrahim as :
Allah berfirman:"Janji-Ku tidak
mengenai orang yang zalim". -Qs. 2 al-Baqarah: 124
Bukti lain, banyak diantara para
sahabat yang ikut dalam Baiat Aqobah 1 dan 2 yang terdiri dari orang-orang
Muhajirin dan Anshar dicela Allah karena beberapa kasus, misalnya :
Dalam [Q.S. At-Taubah 101], Allah
berfirman : "Dan di antara orang-orang badui di sekelilingmu, ada orang munafik,
dan juga di antara penduduk Madinah. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka.
Kamilah yang mengetahui mereka. Kami akan siksa mereka dua kali kemudian mereka
akan diberikan azab yang besar".
Ibn Katsir menafsirkan ayat tersebut,
bahwa ayat tersebut ditujukan untuk beberapa sahabat Rasul Saw yang munafik.
Rasul Saw tahu bahwa penduduk Madinah yang menggaulinya dan dilihatnya tiap
pagi dan senja, ada orang-orang munafik.
Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dari
Jubair bin Muth'im, yang bercerita :"Aku bertanya kepada Rasulullah SAW
:'Apakah betul yang dikatakan oleh mereka bahwa kami di Mekkah tidak mendapat
bayaran ?' Rasul menjawab:'Bayaranmu akan sampai kepadamu, walaupun kamu ada di
lubang rubah'. Kemudian sambil mendekatkan kepala beliau ke telingaku, beliau
bersabda :'Sesungguhnya di antara sahabat-sahabatku ada orang-orang
munafik'."
Dalam [Q.S. Jumuah 11], Allah mengecam para sahabat yang meninggalkan Rasul Saw, yang sedang ber-khutbah jum'at, demi menyambut kafilah yang membawa barang dagangan.
Jabir bin Abdullah berkata
:"Ketika Nabi Saw sedang berkhotbah jum'at, tiba-tiba datang kafilah
dagang di Madinah, maka pergilah sahabat menyambut kafilah dagang itu, sehingga
tiada sisa yang mendengarkan khotbah Rasul Saw, kecuali 12 orang, maka Rasul
Saw bersabda :'Demi Allah yang jiwaku ada di tangannya, andaikata kamu semua
mengikuti keluar sehingga tiada seorangpun yang tertinggal, niscaya lembah ini
akan mengalir api'. Dan turunlah ayat tersebut.
Lihat juga [Q.S. Ali Imron 153],
tentang kejadian perang Uhud, dimana sebagian sahabat lari meninggalkan Rasul
Saw :
"(Ingatlah) ketika kalian lari dan
tidak menoleh kepada seorangpun, sedang Rasul yang berada di antara
kawan-kawanmu yang lain, memanggil kalian, karena itu Allah menimpakan atas
kalian kesusahan di atas kesusahan agar kalian tidak bersedih atas apa yang
luput dari kalian dan apa yang menimpa kalian. Sungguh Allah mengetahui apa
yang kalian kerjakan".
Kisah tragedi hari kamis, dimana
Rasulullah Saw marah kepada Umar bin Khatab dan beberapa sahabat lain
:"Bawakan dawat dan lembaran, akan ku (minta) tuliskan surat buat kamu,
supaya sesudah itu kamu tidak lagi akan pernah sesat." Dari orang-orang
yang hadir ada yang berkata, bahwa sakit Rasulullah s.a.w. sudah sangat gawat;
pada kita sudah ada Qur'an, maka sudah cukuplah dengan Kitabullah itu. Ada yang
menyebutkan, bahwa UMAR -lah yang mengatakan itu. Di kalangan yang hadir itu
terdapat perselisihan. Ada yang mengatakan: Biar dituliskan, supaya sesudah itu
kita tidak sesat. Adapula yang keberatan karena sudah cukup dengan Kitabullah.
Setelah melihat pertengkaran itu, Nabi Muhammad berkata: "Pergilah kamu
sekalian! Tidak patut kamu berselisih dihadapan Nabi."
Secara obyektifitas, sikap Umar tersebut memang bisa dianggap sebagai suatu sikap yang sangat tidak bijak dan tidak pula patut. Disini saya menilai Umar
justru sedang mengabaikan logika berpikirnya dan lebih mengutamakan emosional semata.
Jika Umar menggunakan pemikiran yang sehat, maka ucapannya ini tidak akan pernah keluar dari mulut beliau, sebab antara dia dan Nabi sudah terjalin persahabatan yang cukup lama waktunya dan seharusnya membuat beliau mengenal kepribadian sang Nabi lebih baik sehingga tidak mungkin secara logika, seorang Nabi bisa meracau ataupun kesurupan sekalipun sedang dalam kondisi yang sakit.
Jikapun ini bisa terjadi, pasti akan ada teguran ataupun bantuan dari Tuhan seperti kejadian-kejadian sebelumnya (lihat misalnya kisah ketika Nabi memastikan datangnya wahyu, Beliau ditegur oleh Allah, begitupula saat ada orang buta meminta pengajaran dan Beliau bermuka masam, inipun ditegur oleh Allah, apalagi bila sampai Nabi meracau dan mengatakan hal yang salah kepada umatnya, pastilah akan lebih mendapat teguran yang lebih keras lagi).
Karenanya sangat masuk akal bila Nabi pun menjadi marah dan mengusir orang-orang yang ada disekitarnya waktu itu agar keluar ruangan.
Dirumah sakit saja bila kita menengok teman yang sakit pasti akan dijumpai tulisan "Jangan Berisik, demi kesembuhan pasien".
Ini sikap para sahabat ...dan ini bukan
kata Arman, tetapi kata sejarah.
Dalam kitab Dala’ilu’n-Nabuwat yang di
susun oleh Hafiz Abu Bakr Ahmad Bin Husain Baihaqi Shafi’i, seorang ulama Fiqih
bercerita mengenai Baiat Aqobah dengan rantai penyampai yang sahih dan juga
Imam Ahmad Bin Hanbal, pada penghujung v. V dari Musnadnya, menyatakan dari Abu
Tufail, bahwa nabi pada malam tersebut mengutuk sekumpulan sahabat yang bermuka
dua dan bermaksud untuk membunuhnya.
Ibn Hajar menulis di dalam
Fathu’l-Bari, jilid X, ms 30, bahwa Abu Talha Zaid Bin Sahl telah menyediakan
pesta minum arak dirumahnya dan ikut bersamanya 10 orang sahabat.
Sepuluh orang sahabat itu antara lain :
(1) Abu Bakr Bin Abi Qahafa, (2) Umar
Ibn Khattab, (3) Abu Ubaida Jarra, (4) Ubai Bin Ka’b, (5) Sahl Bin Baiza, (6)
Abu Ayyub Ansari, (7) Abu Talha (the host), (8) Abu Dajjana Samak Bin Kharsa,
(9) Abu Bakr Bin Shaghuls, (10) Anas Bin Malik, yang berusia 18 tahun pada masa
itu dan yang menyajikan arak. Baihaqi di dalam, jilid VIII, ms 29, telah juga
sampaikan dari Anas sendiri bahwa dia mengatakan yang dia termuda dari mereka
pada masa itu dan yang menyajikan arak.
Masalah ini bisa dirujuk pula dalam
Shahih Bukhari (yang mengulas pada Ayat Khamr, “ayat mengenai arak”, di dalam
surah Ma’ida al-Quran ); Muslim Ibn Hajar di dalam Sahih (Kitab-e-Ashraba
Bab-e-Tahrimu’l-Khamr); Imam Ahmad Bin Hanbal di dalam Musnad, jilid XXX, ms
181 dan 227; Ibn Kathir di dalam Tafsir, jilid XI, ms 93; Jalalu’d-din Suyuti
di dalam Durru’l-Mansur, jilid II, ms 321; Tabari di dalam Tafsir, jilid VII,
ms 24; Ibn Hajar Asqalani di dalam Isaba, jilid IV, ms 22 dan Fathu’l-Bari,
jilid X, ms 30; Badru’d-din Hanafi di dalam Umdatu’l-Qari, jilid X, ms 84;
Baihaqi di dalam Sunan, ms 286 dan 290.
Muhammad Bin Jarir Tabari menyatakan di
dalam Tafsir-e-Kabir, v.II, p.203, pada pengesahan Abil Qamus Zaid Bin Ali,
yang mengatakan Allah telah mewahyukan tiga ayat sehubungan pengharaman minum
arak. Di dalam ayatnya yang pertama Dia berkata: ‘Mereka tanya kamu mengenai
yang memabukkan dan judi. Katakan: ‘Di dalam keduanya terdapat dosa besar dan
cara keuntungan bagi manusia, dan dosanya lebih besar dari keuntungannya……’
[2:219]
Tetapi fakta tidak semua sahabat
meninggalkan minum arak sepenuhnya. Apabila dua orang, sedang mabuk, mendirikan
solat dan bercakap yang bukan-bukan, satu lagi ayat telah diwahyukan, yang
berbunyi: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah mendekati solat apabila
kamu mabuk sehingga kamu tahu apa yang kamu ucapkan.’ [4:43]
Meski demikian tradisi minum arak
dikalangan sahabat masih berterusan sekalipun mereka tidak mendirikan sholat
ketika mabuk. Suatu hari seseorang minum arak dan telah mendendangkan syair
untuk orang jahiliah yang terbunuh dipeperangan Badar. Tatkala berita ini
sampai kepada Nabi marahlah beliau dan turunlah ayat ‘Wahai orang-orang yang
beriman! Arak, judi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan
keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar
kamu mendapat keberuntungan. ’ [5:90]
Sepeninggal Nabi sikap para sahabatnya
pun perlu dikaji lebih obyektif :
Dihari wafatnya Rasul misalnya, belum
lagi jenazahnya dikubur, sejumlah sahabat malah ribut dan saling merasa lebih
unggul satu dengan yang lain sehingga menurutnya jabatan Khalifah harus berada
ditangan mereka, jika Abu Bakar dan Umar tidak datang bukan tidak mungkin akan
terjadi konflik berdarah saat itu, apakah type sahabat yang seperti itu bisa
dimasukkan kedalam kategori 'adalah seperti yang diklaim oleh ulama hadis ?
Thalhah dan Zubair, keduanya sahabat
Nabi dan ikut berjanji setia dibawah pohon, tetapi mereka juga orang yang
paling bertanggung jawab atas terjadinya perang Jamal yang membuat ratusan
sahabat saling bunuh dan membuat 'Aisyah r.a mengangkat pedang terhadap Ali bin
Abu Thalib r..a, bisakah dibenarkan tindakan kedua sahabat tersebut ? -menurut
saya jika anda membenarkannya maka secara tidak langsung andapun membenarkan
tindakan pengeboman Dr. Azhari cs yang membuat puluhan nyawa melayang dan
puluhan istri serta anak kecil kehilangan orang yang mereka cintai dan menaungi
hidup mereka.
Selanjutnya Muawiyah bersama
pengikutnya yang mengobarkan peperangan terhadap Imam Ali r.a dan menyebabkan
banyak sahabat terbunuh dan lebih jauh lagi awal dari pencaci makian dan
penghujatan terhadap seluruh keluarga Nabi dan pembantaian bagi para
simpatisannya... apakah ini bisa dimasukkan dalam kategori sahabat yang
bersifat 'adalah ?
Dari beberapa kasus diatas, fakta bahwa
tidak semua sahabat bisa disebut bersikap 'adalah.
Ada orang-orang yang memecah janji
setianya terhadap Allah dan Rasul-Nya, karena itu Allah berfirman :
Orang-orang yang merusak janji Allah
setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan
supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang
memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk. - Qs. 13 ar-Ra'd
: 25
Demikian kiranya sedikit pemahaman saya
terhadap sifat 'adalah para sahabat Nabi, bahwa benar mereka orang-orang yang
bertemu, berbicara dan mendampingi hidup Nabi namun mereka tetap bisa salah,
mereka tetap bisa bertindak bertentangan dengan ajaran Islam meski sekecil
apapun itu ... sebab mereka juga adalah manusia biasa.
Allah dan rasul-Nya suka mencela
orang-orang yang zhalim, tetapi sebagian besar umat Islam tidak suka apabila
orang tersebut dari 'sahabat' Rasul. Seakan-akan menganggap mereka semua suci
dan jauh dari murka dan benci Allah dan rasul-Nya.
Demi Allah, yang maha pengasih dan maha
penyayang, yang memberi cobaan bagi orang-orang yang beriman, fakta sejarah
menjadi cobaan bagi kita,
manakah yang lebih kita cintai, Allah dan Rasul-Nya, keluarga dan keturunan Rasul-Nya atau para sahabat?
manakah yang lebih kita cintai, Allah dan Rasul-Nya, keluarga dan keturunan Rasul-Nya atau para sahabat?
Apakah Allah akan meridhai kita apabila kita rela terhadap pemenggal kepala cucu Rasul-Nya sang pemuka pemuda ahli surga?
Apakah Allah akan meridhai kita apabila
kita percaya buta kepada para sahabat termasuk mereka-mereka yang mencaci maki
Ahlul bait dan keturunan Rasul Allah saw ?
Jika memang misalnya harus memilih ...
sekali lagi ini umpamanya : antara berpihak pada sahabat atau kepada keluarga
Nabi, tanpa ragu saya akan memilih berpihak pada yang kedua, setidaknya dari
hasil kajian saya selama ini jarang dan malah nyaris tidak ada celah-celah
kemunafikan dari sisi para Ahli Bait Nabi (disini saya tidak memasukkan
sebagian pengikut mereka yang banyak bertindak berlebih-lebihan). Setidaknya
juga antara ucapan sholawat saya dengan sikap saya tidak bertentangan.
Bacalah lebih banyak, pelajarilah lebih
obyektif dan tinggalkan prasangka, analisa dengan bijak.
Maaf apabila saya menyakiti anda para
pengagum semua sahabat Rasul Allah, tujuan saya menulis semua ini hanya untuk
mengajak anda untuk mempelajari sejarah secara obyektif.
Renungkanlah tanpa di bawah pengaruh apapun bahkan diri anda sendiri, . carilah penyelesaiannya dengan segenap kemampuan anda. dan berpegang pada sikap yang obyektif, berpeganglah pada prinsip cinta dan benci karena Allah.
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah
kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah
biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya
ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu
memutar balikkan (fakta) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. -Qs. An-Nisa' 4:135
Kita hormati semua sahabat, namun
bagaimanapun kita harus tetap meletakkan rasa hormat itu dibawah ketentuan
kitab suci, meletakkannya pada posisi yang memang seharusnya.
Demikian, semoga membantu memberikan
pencerahan.
Wassalam,