PENDAPAT SAHABAT NABI BISA SALAH

Assalamu'alaykum Wr. Wb,
Beberapa penulisan saya menyangkut sifat 'ADALATUS SHABAHAH rupanya cukup menuai kritik, alhamdulillah, itu berarti begitu besarnya perhatian dan kasih sayang rekan-rekan terhadap diri saya. Namun begini, pada tulisan kali ini saya akan mengajak anda berpikir dengan jernih mengenai permasalahan 'ADALATUS SHABAHAH ini sehingga anda pun bisa mengerti jalan pemikiran saya.

Sebelumnya saya sudah beberapa kali juga menyinggung bahwasanya saya tidak memihak, anda boleh menyebut saya seorang syiah, anda pun boleh menyebut saya seorang sunni tetapi buat saya pribadi penyebutan seperti itu tidak penting, yang saya pahami, Islam adalah Islam, tidak ada madzhab dalam Islam. Madzhab adalah cara pandang terhadap sesuatu yang akhirnya menjadi thariqah untuk pengamalannya. Adalah bisa dimengerti dan dipahami selama itu tidak menjerumuskan pada tingkat saling pengkafiran apalagi saling bunuh. Jika terhadap orang kafir saja kita dilarang berbuat zalim, apakah lagi kepada sesama muslim.
Jauhi prasangka, itulah kata kitab suci :
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yaang lain.Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. -Qs. 49 al-Hujuurat :12
Bila kita melihat saudara kita berbeda pemahaman dengan apa yang kita pahami, mari dialog, buka hati dan buka pikiran, pergunakan dalil yang obyektif sehingga tidak terjebak dalam debat kusir yang hanya berdasarkan emosional semata, sebab tindakan emosional tidak akan mengantarkan pada pemecahan masalah yang baik.
Wahai orang-orang yang beriman !
Jangan sekalipun kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil (bersikap subyektif); Berlakulah adil (berbuatlah obyektif) karena adil itu sangat dekat kepada taqwa - Qs. 5 al-Ma'idah : 8
Dan berangkat dari ayat ini, maka berikut akan saya uraikan pemahaman saya mengenai sifat 'ADALATUS SHABAHAH, mohon maaf apabila banyak nantinya yang merasa tersinggung dengan tulisan ini, silahkan anda mendebat tulisan saya ini dengan dalil-dalil pula dan bukan sekedar menurut anggapan anda atau ulama anu dan syaikh anu.
'ADALATUS SHABAHAH artinya sifat keadilan sahabat, beberapa ulama hadis mempersempit makna ini menjadi kebersihan semua shahabat dan keterbebasan mereka dari perbuatan salah, mulai dari tindakan hingga pada ucapannya.
Penyempitan defenisi ini akhirnya menimbulkan tindakan taklid berlebihan terhadap diri para sahabat Nabi, semua kajian keagamaan akhirnya seringkali tidak obyektif dan manakala ada pihak yang mencoba melakukan kritik terhadap para sahabat maka orang itu beramai-ramai langsung dicap kafir, sesat, munafik, sok mulia dan sebagainya.
Akhirnya terjadilah jurang didunia Islam secara berabad-abad antara kaum ahlussunah yang berkesan mendewakan sahabat dengan kaum Syiah yang berkesan banyak memunafikkan sahabat dan malah ada yang ekstrim sampai mengkafirkannya. Padahal masalah ini bisa kita bawa secara obyektif dengan terlebih dahulu menanggalkan semua bentuk kefanatikan kita terhadap masing-masing pemahaman.
Kitab suci al-Qur'an banyak memberikan contoh bagaimana seorang Adam, seorang Musa, seorang Yunus dan seorang Muhammad terlepas dari status kedekatan dan hubungannya dengan Allah ternyata mampu melakukan kesalahan-kesalahan manusiawi sebagaimana fitrah dari kemanusiaan itu sendiri. Bahkan dalam banyak ayat di al-Qur'an betapa Nabi disuruh mengulang-ulangi ucapan : Aku ini manusia biasa seperti kamu tetapi aku diberi wahyu ... artinya apa ? tidak lain ini sebagai bentuk teguran kepada manusia lain diluarnya bahwa sesaleh apapun seseorang namun selama dia bernama manusia, dia tidak akan bisa melepaskan semua sifat-sifat kemanusiawiannya.
Ada kalanya mereka mengeluh, ada kalanya mereka menangis sedih, ada kalanya mereka tertawa, bersenda gurau, marah, gusar, terluka bahkan terbunuh ... semua ini ada ayatnya dalam al-Qur'an dan ini sangat rasional sekali, sangat kausalitas.
Lalu bagaimana mungkin seseorang diluar para utusan Allah tersebut bisa dijadikan maksum, terlepas dari cacat ? ini semua perlu kajian lebih jauh, lebih mendalam, ada yang salah dari cara kita memahami nash-nash yang tertulis sehingga berkesan Islam itu penuh konflik kontradiksi internal.
Padahal al-Qur'an berkata :
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur'an?
Kalau kiranya al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. -Qs. An-Nisa' 4:82
Tidak adanya pertentangan yang banyak bukan berarti ada pertentangan yang sedikit, kenapa ?
Yang tidak datang kepadanya (al-Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari (Tuhan) Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. -Qs. 41:42
Berarti saat kita menemukan adanya konflik didalam ajaran Islam sebenarnya konflik itu ada pada diri kita sendiri, bukan pada ajaran Islam.
Aksi pengeboman berlabel jihad adalah salah satu contoh pemahaman Islam yang salah sama salahnya dengan tindakan negara-negara barat yang memposisikan Islam sebagai agama teroris.
Padahal Allah telah memberikan rumus sederhana untuk memahami agama-Nya dengan baik :
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu.Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui -Qs. 30:30
Hadapkanlah mukamu kepada agama yang tulus dan ikhlas dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik. -Qs. 10:105
Sederhana sekali, untuk memahami agama kita hanya dituntut untuk mengerti fitrah kita, fitrah manusiawi.
Jangan berpikir untuk menjadikan diri kita berfitrah malaikat sebab kita memang bukan malaikat dan memang Allah tidak hendak menjadikan kita sebagai malaikat, oleh karena itu pula jangan menganggap orang lain sebagai malaikat, kembalikan fitrah mereka pada haknya.
Para sahabat adalah manusia dan mari kita memahami mereka sebagai manusia ... inilah fitrah.
Benar bahwa kita harus memperlakukan mereka secara terhormat, bagaimanapun diantara mereka banyak yang berjuang atas dasar penegakan Iman, mereka gugur di Badar, merekapun gugur di Uhud dan diberbagai peperangan penegakan panji-panji Allah yang lainnya.
Tanpa mereka seorang Muhammad tidak akan bisa berbuat banyak, Islam bisa sampai pada kita karena jasa mereka, ini tidak perlu dipungkiri, karena itu Allah dan Rasul-Nya pun banyak mengeluarkan pujian untuk mereka.
Akan tetapi ... jangan berhenti sampai disini.
Karena pembelajaran kita memang belum harus berhenti, ada banyak hal yang menggelitik hati kita apabila melihat fakta sejarah yang berlaku dan melibatkan para sahabat.
Apakah sikap para sahabat yang berebut kekuasaan, para sahabat yang haus kekuasaan, para sahabat yang memenggal kepala cucu Nabi tercinta, para sahabat yang terlibat konflik berdarah sesamanya, para sahabat yang memaki-maki keturunan Nabi ... tetap disebut 'bersifat adalah (adil, bersih) ?
Apa benar membunuh sesama saudaranya seiman disebut sebagai tindakan ikhtilafiah ?
Saya kok tidak yakin Allah dan Rasul-Nya meridhoi perbuatan-perbuatan para sahabat yang saya sebutkan tadi.
Anda bacalah al-Qur'an, anda bacalah sirah Nabawiah ... anda analisa dan renungkan kebenaran dari apa yang saya katakan ini.
Beberapa argumentatif yang diajukan seputar diri para sahabat, misalnya :
"Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, kalian menyuruh yang ma'ruf dan mencegah yang mungkar dan kalian beriman kepada Allah". (Ali-Imran : 110)

"Dan demikian (pula) kami telah menjadikan kalian umat yang adil dan pilihan". (Al-Baqarah : 143)
Padahal kata umat diayat-ayat tersebut merujuk pada kaum, artinya pengikut.

Jadi disini tidak hanya berhubungan dengan sahabat saja, saat Allah menyebut umat terbaik, maka maksudnya disini adalah umat Islam, dan jika sudah berbicara masalah umat Islam maka berarti berbicara mengenai orang banyak, terlepas dari rentang ruang dan waktu.
Praktis, penerapan hukum terhadap umat adalah sama, tidak ada kecuali. Jika salah ya salah. munafik ya munafik.
Argumentasi lainnya :
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalirkan sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar". (At-Taubah : 100)
Kalau kita perhatikan ayat tersebut, disana ada teks "..yang mengikuti mereka dengan baik ..." ; artinya diantara mereka ada juga yang tidak baik, karena itu janji Allah hanya untuk mereka yang baik saja, sama seperti saat Allah menjawab doa Nabi Ibrahim as :
Allah berfirman:"Janji-Ku tidak mengenai orang yang zalim". -Qs. 2 al-Baqarah: 124
Bukti lain, banyak diantara para sahabat yang ikut dalam Baiat Aqobah 1 dan 2 yang terdiri dari orang-orang Muhajirin dan Anshar dicela Allah karena beberapa kasus, misalnya :
Dalam [Q.S. At-Taubah 101], Allah berfirman : "Dan di antara orang-orang badui di sekelilingmu, ada orang munafik, dan juga di antara penduduk Madinah. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka. Kamilah yang mengetahui mereka. Kami akan siksa mereka dua kali kemudian mereka akan diberikan azab yang besar".
Ibn Katsir menafsirkan ayat tersebut, bahwa ayat tersebut ditujukan untuk beberapa sahabat Rasul Saw yang munafik. Rasul Saw tahu bahwa penduduk Madinah yang menggaulinya dan dilihatnya tiap pagi dan senja, ada orang-orang munafik.
Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dari Jubair bin Muth'im, yang bercerita :"Aku bertanya kepada Rasulullah SAW :'Apakah betul yang dikatakan oleh mereka bahwa kami di Mekkah tidak mendapat bayaran ?' Rasul menjawab:'Bayaranmu akan sampai kepadamu, walaupun kamu ada di lubang rubah'. Kemudian sambil mendekatkan kepala beliau ke telingaku, beliau bersabda :'Sesungguhnya di antara sahabat-sahabatku ada orang-orang munafik'."

Dalam [Q.S. Jumuah 11], Allah mengecam para sahabat yang meninggalkan Rasul Saw, yang sedang ber-khutbah jum'at, demi menyambut kafilah yang membawa barang dagangan.
Jabir bin Abdullah berkata :"Ketika Nabi Saw sedang berkhotbah jum'at, tiba-tiba datang kafilah dagang di Madinah, maka pergilah sahabat menyambut kafilah dagang itu, sehingga tiada sisa yang mendengarkan khotbah Rasul Saw, kecuali 12 orang, maka Rasul Saw bersabda :'Demi Allah yang jiwaku ada di tangannya, andaikata kamu semua mengikuti keluar sehingga tiada seorangpun yang tertinggal, niscaya lembah ini akan mengalir api'. Dan turunlah ayat tersebut.
Lihat juga [Q.S. Ali Imron 153], tentang kejadian perang Uhud, dimana sebagian sahabat lari meninggalkan Rasul Saw :
"(Ingatlah) ketika kalian lari dan tidak menoleh kepada seorangpun, sedang Rasul yang berada di antara kawan-kawanmu yang lain, memanggil kalian, karena itu Allah menimpakan atas kalian kesusahan di atas kesusahan agar kalian tidak bersedih atas apa yang luput dari kalian dan apa yang menimpa kalian. Sungguh Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan".
Kisah tragedi hari kamis, dimana Rasulullah Saw marah kepada Umar bin Khatab dan beberapa sahabat lain :"Bawakan dawat dan lembaran, akan ku (minta) tuliskan surat buat kamu, supaya sesudah itu kamu tidak lagi akan pernah sesat." Dari orang-orang yang hadir ada yang berkata, bahwa sakit Rasulullah s.a.w. sudah sangat gawat; pada kita sudah ada Qur'an, maka sudah cukuplah dengan Kitabullah itu. Ada yang menyebutkan, bahwa UMAR -lah yang mengatakan itu. Di kalangan yang hadir itu terdapat perselisihan. Ada yang mengatakan: Biar dituliskan, supaya sesudah itu kita tidak sesat. Adapula yang keberatan karena sudah cukup dengan Kitabullah. Setelah melihat pertengkaran itu, Nabi Muhammad berkata: "Pergilah kamu sekalian! Tidak patut kamu berselisih dihadapan Nabi."

Secara obyektifitas, sikap Umar tersebut memang bisa dianggap sebagai suatu sikap yang sangat tidak bijak dan tidak pula patut. Disini saya menilai Umar
justru sedang mengabaikan logika berpikirnya dan lebih mengutamakan emosional semata.

Jika Umar menggunakan pemikiran yang sehat, maka ucapannya ini tidak akan pernah keluar dari mulut beliau, sebab antara dia dan Nabi sudah terjalin persahabatan yang cukup lama waktunya dan seharusnya membuat beliau mengenal kepribadian sang Nabi lebih baik sehingga tidak mungkin secara logika, seorang Nabi bisa meracau ataupun kesurupan sekalipun sedang dalam kondisi yang sakit.

Jikapun ini bisa terjadi, pasti akan ada teguran ataupun bantuan dari Tuhan seperti kejadian-kejadian sebelumnya (lihat misalnya kisah ketika Nabi memastikan datangnya wahyu, Beliau ditegur oleh Allah, begitupula saat ada orang buta meminta pengajaran dan Beliau bermuka masam, inipun ditegur oleh Allah, apalagi bila sampai Nabi meracau dan mengatakan hal yang salah kepada umatnya, pastilah akan lebih mendapat teguran yang lebih keras lagi).

Karenanya sangat masuk akal bila Nabi pun menjadi marah dan mengusir orang-orang yang ada disekitarnya waktu itu agar keluar ruangan.

Dirumah sakit saja bila kita menengok teman yang sakit pasti akan dijumpai tulisan "Jangan Berisik, demi kesembuhan pasien".
Ini sikap para sahabat ...dan ini bukan kata Arman, tetapi kata sejarah.
Dalam kitab Dala’ilu’n-Nabuwat yang di susun oleh Hafiz Abu Bakr Ahmad Bin Husain Baihaqi Shafi’i, seorang ulama Fiqih bercerita mengenai Baiat Aqobah dengan rantai penyampai yang sahih dan juga Imam Ahmad Bin Hanbal, pada penghujung v. V dari Musnadnya, menyatakan dari Abu Tufail, bahwa nabi pada malam tersebut mengutuk sekumpulan sahabat yang bermuka dua dan bermaksud untuk membunuhnya.
Ibn Hajar menulis di dalam Fathu’l-Bari, jilid X, ms 30, bahwa Abu Talha Zaid Bin Sahl telah menyediakan pesta minum arak dirumahnya dan ikut bersamanya 10 orang sahabat.
Sepuluh orang sahabat itu antara lain :
(1) Abu Bakr Bin Abi Qahafa, (2) Umar Ibn Khattab, (3) Abu Ubaida Jarra, (4) Ubai Bin Ka’b, (5) Sahl Bin Baiza, (6) Abu Ayyub Ansari, (7) Abu Talha (the host), (8) Abu Dajjana Samak Bin Kharsa, (9) Abu Bakr Bin Shaghuls, (10) Anas Bin Malik, yang berusia 18 tahun pada masa itu dan yang menyajikan arak. Baihaqi di dalam, jilid VIII, ms 29, telah juga sampaikan dari Anas sendiri bahwa dia mengatakan yang dia termuda dari mereka pada masa itu dan yang menyajikan arak.
Masalah ini bisa dirujuk pula dalam Shahih Bukhari (yang mengulas pada Ayat Khamr, “ayat mengenai arak”, di dalam surah Ma’ida al-Quran ); Muslim Ibn Hajar di dalam Sahih (Kitab-e-Ashraba Bab-e-Tahrimu’l-Khamr); Imam Ahmad Bin Hanbal di dalam Musnad, jilid XXX, ms 181 dan 227; Ibn Kathir di dalam Tafsir, jilid XI, ms 93; Jalalu’d-din Suyuti di dalam Durru’l-Mansur, jilid II, ms 321; Tabari di dalam Tafsir, jilid VII, ms 24; Ibn Hajar Asqalani di dalam Isaba, jilid IV, ms 22 dan Fathu’l-Bari, jilid X, ms 30; Badru’d-din Hanafi di dalam Umdatu’l-Qari, jilid X, ms 84; Baihaqi di dalam Sunan, ms 286 dan 290.
Muhammad Bin Jarir Tabari menyatakan di dalam Tafsir-e-Kabir, v.II, p.203, pada pengesahan Abil Qamus Zaid Bin Ali, yang mengatakan Allah telah mewahyukan tiga ayat sehubungan pengharaman minum arak. Di dalam ayatnya yang pertama Dia berkata: ‘Mereka tanya kamu mengenai yang memabukkan dan judi. Katakan: ‘Di dalam keduanya terdapat dosa besar dan cara keuntungan bagi manusia, dan dosanya lebih besar dari keuntungannya……’ [2:219]
Tetapi fakta tidak semua sahabat meninggalkan minum arak sepenuhnya. Apabila dua orang, sedang mabuk, mendirikan solat dan bercakap yang bukan-bukan, satu lagi ayat telah diwahyukan, yang berbunyi: ‘Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah mendekati solat apabila kamu mabuk sehingga kamu tahu apa yang kamu ucapkan.’ [4:43]
Meski demikian tradisi minum arak dikalangan sahabat masih berterusan sekalipun mereka tidak mendirikan sholat ketika mabuk. Suatu hari seseorang minum arak dan telah mendendangkan syair untuk orang jahiliah yang terbunuh dipeperangan Badar. Tatkala berita ini sampai kepada Nabi marahlah beliau dan turunlah ayat ‘Wahai orang-orang yang beriman! Arak, judi, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. ’ [5:90]
Sepeninggal Nabi sikap para sahabatnya pun perlu dikaji lebih obyektif :
Dihari wafatnya Rasul misalnya, belum lagi jenazahnya dikubur, sejumlah sahabat malah ribut dan saling merasa lebih unggul satu dengan yang lain sehingga menurutnya jabatan Khalifah harus berada ditangan mereka, jika Abu Bakar dan Umar tidak datang bukan tidak mungkin akan terjadi konflik berdarah saat itu, apakah type sahabat yang seperti itu bisa dimasukkan kedalam kategori 'adalah seperti yang diklaim oleh ulama hadis ?
Thalhah dan Zubair, keduanya sahabat Nabi dan ikut berjanji setia dibawah pohon, tetapi mereka juga orang yang paling bertanggung jawab atas terjadinya perang Jamal yang membuat ratusan sahabat saling bunuh dan membuat 'Aisyah r.a mengangkat pedang terhadap Ali bin Abu Thalib r..a, bisakah dibenarkan tindakan kedua sahabat tersebut ? -menurut saya jika anda membenarkannya maka secara tidak langsung andapun membenarkan tindakan pengeboman Dr. Azhari cs yang membuat puluhan nyawa melayang dan puluhan istri serta anak kecil kehilangan orang yang mereka cintai dan menaungi hidup mereka.
Selanjutnya Muawiyah bersama pengikutnya yang mengobarkan peperangan terhadap Imam Ali r.a dan menyebabkan banyak sahabat terbunuh dan lebih jauh lagi awal dari pencaci makian dan penghujatan terhadap seluruh keluarga Nabi dan pembantaian bagi para simpatisannya... apakah ini bisa dimasukkan dalam kategori sahabat yang bersifat 'adalah ?
Dari beberapa kasus diatas, fakta bahwa tidak semua sahabat bisa disebut bersikap 'adalah.
Ada orang-orang yang memecah janji setianya terhadap Allah dan Rasul-Nya, karena itu Allah berfirman :
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk. - Qs. 13 ar-Ra'd : 25
Demikian kiranya sedikit pemahaman saya terhadap sifat 'adalah para sahabat Nabi, bahwa benar mereka orang-orang yang bertemu, berbicara dan mendampingi hidup Nabi namun mereka tetap bisa salah, mereka tetap bisa bertindak bertentangan dengan ajaran Islam meski sekecil apapun itu ... sebab mereka juga adalah manusia biasa.
Allah dan rasul-Nya suka mencela orang-orang yang zhalim, tetapi sebagian besar umat Islam tidak suka apabila orang tersebut dari 'sahabat' Rasul. Seakan-akan menganggap mereka semua suci dan jauh dari murka dan benci Allah dan rasul-Nya.
Demi Allah, yang maha pengasih dan maha penyayang, yang memberi cobaan bagi orang-orang yang beriman, fakta sejarah menjadi cobaan bagi kita,
manakah yang lebih kita cintai, Allah dan Rasul-Nya, keluarga dan keturunan Rasul-Nya atau para sahabat?

Apakah Allah akan meridhai kita apabila kita rela terhadap pemenggal kepala cucu Rasul-Nya sang pemuka pemuda ahli surga?
Apakah Allah akan meridhai kita apabila kita percaya buta kepada para sahabat termasuk mereka-mereka yang mencaci maki Ahlul bait dan keturunan Rasul Allah saw ?
Jika memang misalnya harus memilih ... sekali lagi ini umpamanya : antara berpihak pada sahabat atau kepada keluarga Nabi, tanpa ragu saya akan memilih berpihak pada yang kedua, setidaknya dari hasil kajian saya selama ini jarang dan malah nyaris tidak ada celah-celah kemunafikan dari sisi para Ahli Bait Nabi (disini saya tidak memasukkan sebagian pengikut mereka yang banyak bertindak berlebih-lebihan). Setidaknya juga antara ucapan sholawat saya dengan sikap saya tidak bertentangan.
Bacalah lebih banyak, pelajarilah lebih obyektif dan tinggalkan prasangka, analisa dengan bijak.
Maaf apabila saya menyakiti anda para pengagum semua sahabat Rasul Allah, tujuan saya menulis semua ini hanya untuk mengajak anda untuk mempelajari sejarah secara obyektif.

Renungkanlah tanpa di bawah pengaruh apapun bahkan diri anda sendiri, . carilah penyelesaiannya dengan segenap kemampuan anda. dan berpegang pada sikap yang obyektif, berpeganglah pada prinsip cinta dan benci karena Allah.
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (fakta) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. -Qs. An-Nisa' 4:135
Kita hormati semua sahabat, namun bagaimanapun kita harus tetap meletakkan rasa hormat itu dibawah ketentuan kitab suci, meletakkannya pada posisi yang memang seharusnya.
Demikian, semoga membantu memberikan pencerahan.
Wassalam,

Artikel Terkait