Assalamu'alaykum Wr. Wb.
Cukup banyak himbauan dalam al-Qur'an
dan as-Sunnah untuk menjalin hubungan persahabatan dan persaudaraan diantara
kaum Muslimin, antara lain bisa dilihat misalnya dalam :
"Sesungguhnya orang-orang Mukmin
itu saling bersaudara."
(Qs. al-Hujurat 49:10)
(Qs. al-Hujurat 49:10)
"Dan orang-orang Mukmin, laki-laki
dan perempuan, sebagian dari mereka adalah penolong [wali] bagi sebagian yang
lain." (Qs. at-Taubah 9:71)
Dalam beberapa Haditsnya Rasulullah Saw
pun bersabda :
"Janji keselamatan bagi kaum
Muslim berlaku atas mereka semua, dan mereka semua seia-sekata dalam menghadapi
orang-orang selain mereka. Barangsiapa melanggar janji keamanan seorang Muslim,
maka kutukan Allah, Malaikat dan manusia sekalian tertuju kepadanya dan tidak
diterima darinya tebusan atau pengganti apapun pada hari kiamah kelak."
"Seorang Muslim adalah saudara
bagi Muslim lainnya. Tidak boleh ia menganiayanya dan tidak pula membiarkannya
dianiaya. Barangsiapa mengurusi keperluan saudaranya sesama Muslim, niscaya
Allah akan memenuhi keperluannya sendiri. Dan barangsiapa membebaskan beban
penderitaan seorang Muslim, maka Allah akan membebaskan penderitaannya dihari
kiamat kelak. Dan barangsiapa menutupi aib seorang Mukmin, maka Allah akan
menutupi aibnya dihari kiamat."
"Hindarkan dirimu dari persangkaan
buruk, sesungguhnya yang demikian itu adalah sebohong-bohong perkataan. Jangan
mencari-cari aib orang lain, jangan memata-matai, jangan bersaingan menawar
barang dengan maksud merugikan orang lain, jangan saling menghasut, jangan
saling bermusuhan dan jangan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah
yang bersaudara. Dan tidaklah halal bagi seorang Muslim mendiamkan saudaranya
sesama Muslim lebih dari 3 hari."
"...Lantaran itu, damaikanlah
diantara dua saudara kamu dan berbaktilah kepada Allah agar kamu diberi
rahmat."
(Qs. al-Hujurat 49:10)
(Qs. al-Hujurat 49:10)
"Hai orang-orang yang beriman,
jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu
adalah dosa; dan janganlah kamu mengintai-intai dan janganlah sebagian dari
kamu mengumpat sebagian yang lain; apakah suka seseorang dari kamu memakan
daging bangkai saudaranya ? Tentu kamu akan merasa jijik kepadanya !
Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu Pengampun, Penyayang."
(Qs. al-Hujurat 49:12)
(Qs. al-Hujurat 49:12)
Telah diketahui secara pasti bahwa
hanya dengan Islam dan beriman secara sungguh-sungguh, seorang hamba dapat
meraih puncak keridhoan Allah azza wajalla. Ulama-ulama dari Ahlus-Sunnah
bersepakat bahwa hakikat Islam dan Iman adalah pengucapan 2 kalimah syahadat,
pembenaran adanya hari kebangkitan, mendirikan sholat 5 waktu karena Allah,
melaksanakan ibadah Haji bila mampu, berpuasa dibulan Ramadhan serta
mengeluarkan zakat.
Bukhari dalam kumpulan hadistnya telah
meriwayatkan beberapa sabda Rasulullah Saw :
"Barangsiapa bersaksi bahwa Tiada
Tuhan selain Allah, menghadap kiblat kita, mengerjakan sholat kita dan memakan
hasil sembelihan kita, maka ia adalah seorang Muslim. Baginya berlaku hak dan
kewajiban yang sama sebagai Muslim lainnya."
Berdasarkan ayat-ayat Allah dan fatwa
Nabi Muhammad Saw diatas, adalah tidak pada tempatnya kita selaku manusia yang
mengaku beragama Islam dan mengaku telah beriman secara Kaffah menciptakan
suasana rusuh dan mengobarkan semangat perpecahan dikalangan sesama Muslim.
Maukah kita mendapatkan kecaman dari
Allah dan Rasul-Nya ?
Umat Islam sudah cukup lama
terombang-ambing dalam gelombang perpecahan aneka ragam alirannya dan
masing-masing pihak merasa hanya kaumnya sajalah yang paling benar serta layak
memasuki syurga dan selain kaum mereka ini maka kaum lainnya berada pada posisi
salah dan halal neraka baginya.
Tidak urung ayat-ayat al-Qur'an dan
Hadist-hadist Nabi justru dijadikan ujung tombak untuk menghantam lawan
bicaranya sesama Muslim, entah itu mereka yang menisbatkan diri dalam jemaah
Ahlus-Sunnah, Syi'ah, Muktazilah, Khawarij, Ahmadiyah dan sebagainya.
Tidakkah mereka sadar bahwa yang mereka
perdebatkan ini tidak lain adalah sesuatu penafsiran terhadap hal yang sama
dalam sudut pandang yang berbeda.
Imam Ali bin Abu Thalib r.a, adalah
contoh teladan kedua sesudah Rasulullah Saw yang mengajarkan mengenai hakikat
persaudaraan sesama Muslim, menghargai keutuhan persatuan umat dibawah
panji-panji kebenaran Tauhid.
Beliau menolak mengikuti keinginan
sebagian dari para sahabat untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan
Khalifah Abu Bakar sepeninggal Rasulullah Saw, dan disaat ia menjabat selaku
Khalifah, sikap ini terus dipertahankannya bahkan dalam medan pertempurannya
menghadapi gerakan 'Aisyah pada peristiwa perang Jamal dan disaat menghadapi
pemberontakan kelompok Muawiyah.
Imam Ali bin Abu Thalib r.a, begitu
mengedepankan rasa persaudaraan antar umat Muslim diatas perasaan dirinya
pribadi sehingga beliaupun rela mendapat kecaman dari sejumlah orang atas
sikapnya yang lunak dengan Muawiyah yang mengakibatkan pecahnya pemberontakan
kaum Khawarij sampai terbunuhnya beliau dalam salah satu kesempatan.
Tindakan dan sikap yang diambil oleh
Khalifah ke-4 yang juga menantu Nabi Muhammad Saw ini sudah pasti bukan
tindakan yang tidak disertai pertimbangan dan kearifan yang tinggi, sebagai
salah seorang sahabat dan keluarga terdekat dari Rasulullah, Imam Ali bin Abu
Thalib r.a, tentunya merupakan orang yang paling mengerti mengenai Islam dan ia
bukan seorang yang pengecut.
Dengan demikian, hendaklah kiranya kaum
Muslimin sekarang ini sudi untuk merenung dan menganalisa secara bijak mengenai
perpecahan yang terjadi diantara mereka, perpecahan yang mengarah kepada
permusuhan dan kebencian bukan menjadi satu rahmat namun justru merupakan
malapetaka.
Kehormatan seorang Muslim haruslah
dijunjung tinggi meskipun mungkin Muslim tersebut memiliki sudut pandang
berbeda dengan kita terhadap hal-hal tertentu, ini bukan alasan untuk
mengkafirkan mereka apalagi menumpahkan darahnya dengan mengatasnamakan
kebenaran.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdu
Dzar :
"Telah berkata Nabi Saw kepadaku, bahwa malaikat Jibril berkata: 'Barangsiapa diantara umatmu meninggal dunia dalam keadaan tiada menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka ia akan masuk syurga."; kemudian aku bertanya: 'Kendatipun ia pernah berzina dan mencuri ?"; Jawab Nabi Muhammad Saw: "Ya, walaupun ia pernah berbuat hal itu."
"Telah berkata Nabi Saw kepadaku, bahwa malaikat Jibril berkata: 'Barangsiapa diantara umatmu meninggal dunia dalam keadaan tiada menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka ia akan masuk syurga."; kemudian aku bertanya: 'Kendatipun ia pernah berzina dan mencuri ?"; Jawab Nabi Muhammad Saw: "Ya, walaupun ia pernah berbuat hal itu."
Hadist diatas ini bukan bertendensikan
menghalalkan tindakan kejahatan atas umat Muhammad Saw akan tetapi memiliki
orientasi kepada pengagungan harkat dan martabat seorang Muslim.
Jelas bahwa Allah tidak lalai dari apa
yang kita kerjakan, suatu perbuatan yang negatif, apabila dilakukan secara
terus menerus tentunya akan menyebabkan ketergeseran derajat kemanusiaan
seseorang dihadapan Allah, dan lambat laun seorang Muslim-pun dapat menjadi
seorang yang fasik atau munafik dan tidak menutup kemungkinan dia malah menjadi
kafir kepada Allah sehingga jaminan Allah ini menjadi hilang atas dirinya.
Diberbagai tempat kita meributkan
masalah ke-Khalifahan, orang Syi'ah merasa lebih tinggi dari ahlus-Sunnah dan
sebaliknya kaum ahli-Sunnah pun tidak jarang malah memperolok-olokkan kaum
Syi'ah dan bahkan beberapa diantaranya sampai mengkafirkan mereka hanya karena
mereka lebih mencintai ahli Bait Nabi Muhammad Saw dan mengeluarkan
kritikan-kritikan pedas atas beberapa Muslim generasi awal.
Fenomena Ahmadiyah juga menggelitik
sejumlah umat Islam untuk mendeskreditkan sebagian dari mereka sampai
mengeluarkan fatwa tidak syahnya status ke-Islaman semua Jemaah ini.
Dikalangan ahlus-Sunnah terdapat banyak
Madzhab yang dipimpin oleh Imamnya masing-masing, diantaranya yang terbesar
adalah Imam Hambali, Syafi'i, Maliki dan Hanafi, ke-4 Jemaah ini memiliki
banyak sekali perbedaan-perbedaan didalam penafsiran atas ayat-ayat Allah dan
juga petunjuk Rasul-Nya, dimulai dari masalah Thaharah, Sholat, Puasa, Nikah,
Talak dan seterusnya.
Dibalik beberapa kesamaannya,
masing-masing mereka memberikan argumen dari sudut pandang yang berbeda tentang
banyak hal yang sama.
Padahal, apabila kita ingin berbicara
jujur, perselisihan yang terjadi antar umat Islam dan antar Jemaah maupun
Mazhab hanyalah karena masing-masing memiliki penafsiran berbeda tentang
al-Qur'an dan Hadist Rasul, namun apakah hal ini bisa menjadikan satu alasan
untuk memberikan vonis kekafiran kepada mereka ?
Andaikanlah diantara penafsiran
sebagian dari mereka ini menyimpang dari apa yang seharusnya, namun ini tetap
saja belum mengeluarkan status ke-Islaman yang melekat pada diri mereka,
tentunya selama mereka tetap berpegangkan kepada satu Kalimah "Tidak ada
Tuhan tempat mengabdi selain Allah, Tuhan yang memiliki nama-nama terbaik dan
memiliki sifat-sifat suci, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan."
Kehormatan seorang Muslim tetap
terjamin meskipun dia mengucapkan kalimah "La ilaha illa Allah"
sebagai penyelamat dari suatu usaha pembunuhan, dan ini diceritakan oleh banyak
perawi Hadist.
Muslim dalam salah satu hadist yang diriwayatkannya
dari berbagai saluran ada menceritakan :
"Bahwa suatu hari 'Utban bin Malik
al-Anshari mengunjungi Rasulullah Saw dan meminta agar beliau mau singgah
kerumahnya dan sholat didalamnya, karena ia ingin menjadikannya Musholla. Dalam
satu pembicaraan diantara mereka, Nabi menanyakan keberadaan salah seorang dari
sahabat 'Utban yang bernama Malik bin Ad-Dukhsyun bin Ghunm bin 'Auf bin 'Amr
bin 'Auf yang diketahui sebagai orang yang munafik.
Beberapa sahabat keheranan dan mencoba
mengingatkan Nabi bahwa 'Utban itu adalah orang yang munafik, tapi Nabi
mengeluarkan jawaban : "Jangan berkata demikian, tidakkah kamu melihatnya
telah berucap "La ilaha illa Allah" semata-mata demi keridhoan Allah
?"; diantara para sahabat masih ada yang penasaran dan mencoba kembali
mengeluarkan argumennya : "Memang benar ia mengucapkan yang demikian,
namun tidak disertai dengan ketulusan hatinya, sungguh kami sering melihatnya
pergi dan berkawan dengan orang-orang munafik."
Nabi menjawab : "Tiada seorangpun bersaksi bahwa Tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa aku adalah Rasul Allah yang akan dimasukkan kedalam api neraka atau menjadi umpannya."
Nabi menjawab : "Tiada seorangpun bersaksi bahwa Tiada Tuhan melainkan Allah dan bahwa aku adalah Rasul Allah yang akan dimasukkan kedalam api neraka atau menjadi umpannya."
Demikianlah seharusnya kita didalam
berpijak, tidak mudah melemparkan tuduhan kepada seseorang atau sekelompok kaum
hanya karena berbeda pendapat dengan diri kita, sedangkan bagi orang yang
jelas-jelas seperti Malik bin Ad-Dukhsyun saja Rasulullah Saw tidak melemparkan
ucapan kekafiran atasnya dan malah mengedepankan rasa baik sangka sebagaimana
yang diajarkan oleh Allah.
Satu keselarasan yang bisa kita
kemukakan disini satu ayat al-Qur'an :
"Sesungguhnya orang-orang Mu'min,
orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja
diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, Hari kemudian dan
beramal saleh, mereka akan menerima ganjaran dari Tuhan mereka, tidak ada
ketakutan terhadap mereka, dan tidak berduka cita."
(Qs. al-Baqarah 2:62)
(Qs. al-Baqarah 2:62)
Nyata sekali bahwa jangankan kepada
orang yang mengakui ke-Rasulan Muhammad Saw bin Abdullah, bahkan bagi mereka yang
tidak mengakui kenabian Muhammad pun yang dalam istilah kita sekarang ini
termasuk dalam kategori Unitarian tetap mendapatkan jaminan dari Allah untuk
memperoleh ganjaran disisi-Nya selama mereka tidak mengadakan Tuhan-Tuhan dalam
bentuk apapun selain Allah yang Maha Esa, yang Tidak beranak dan tidak
diperanakkan, yang tidak memiliki kesetaraan dengan apapun dalam keyakinan
mereka.
Kita seringkali terlalu banyak
memperturutkan rasa ke-egoismean semata didalam menghadapi orang yang tidak
sejalan dengan kita yang akibat dari semua ini akan menyulut konflik
berkepanjangan dan tidak berkesudahan.
al-Qur'an dalam surah ali Imran (3)
ayat ke 159 menganjurkan untuk mengadakan musyawarah didalam mencapai jalan
keluar terbaik, selain itu ; juga dalam Surah yang lain, al-Qur'an pun
memberikan kebebasan bagi manusia untuk melakukan dialog pertukar pikiran
secara baik-baik dan saling menghargai.
Seorang manusia dilarang mencemooh
manusia lainnya berdasarkan firman Allah dalam surah al-Hujurat (49) ayat 11
dan beberapa firman Allah berikut ini pun harus menjadi renungan tambahan bagi
kita :
"Sesungguhnya mereka yang suka
akan tersebarnya keburukan dikalangan kaum beriman akan mendapatkan azab yang
pedih didunia dan akhirat..."
(Qs. an-Nur 24:19)
(Qs. an-Nur 24:19)
"Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah kamu menjadi manusia yang lurus karena Allah, menjadi saksi dengan
adil; dan janganlah kebencian kamu atas satu kaum menyebabkan kamu berlaku
tidak adil.
Berbuatlah adil, ini lebih mendekatkan kamu kepada ketakwaan; takutlah kamu kepada Allah sebab Allah amat mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(Qs. al-Maidah 5:8)
Berbuatlah adil, ini lebih mendekatkan kamu kepada ketakwaan; takutlah kamu kepada Allah sebab Allah amat mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(Qs. al-Maidah 5:8)
Kita acapkali jengkel dengan penafsiran
segelintir jemaah terhadap ayat-ayat al-Qur'an dan juga al-Hadist, mereka
memutar balikkan semuanya sekehendak hati mereka sehingga masing-masing merasa
bahwa ayat-ayat dan Hadist-hadist tersebut memperkuat aliran mereka, namun
sesuai amanat al-Qur'an, yang demikian tidak berarti harus kita sikapi dengan
anarkis dan menghilangkan sudut keobjektifitasan kita.
Marilah kita saling bahu membahu antar
sesama saudara seiman didalam menegakkan ajaran Allah, para pengikut ahli Bait
menjalin hubungan baik dengan mereka yang mengaku sebagai pengikut sunnah Nabi;
dan keduanya ini pun haruslah mau untuk tidak memutuskan tali silaturahmi terhadap
mereka yang berasal dari jemaah Ahmadiyah dan begitulah seterusnya secara
wajar.
Kita boleh bertukar pikiran dan kita
juga tidak dilarang untuk saling berdebat, mari kita kemukakan dalil-dalil yang
kita miliki dan kita yakini menunjang apa yang kita jalani, jikapun tidak
terdapat jalan keluar terbaik, marilah kita benci pendapatnya saja namun bukan
orangnya.
"Apabila kamu berbantahan disatu
permasalahan, hendaklah kamu mengembalikannya kepada Allah dan Rasul apabila
adalah kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian."
(Qs. an-Nisa' 4:59)
(Qs. an-Nisa' 4:59)
Banyak orang mengatakan bahwa melakukan
Bai'at terhadap pemimpin itu wajib hukumnya, namun ber-bai'at terhadap Allah
dan Rasul-Nya Muhammad Saw jauh melebihi dari kewajiban berbai'at kepada
siapapun.
Jika mencintai ahli Bait adalah suatu
keharusan, maka berpegang kepada Sunnah itu pun merupakan bagian dari keimanan.
Mari kita hargai hasil ijtihad dari
masing-masing manusia sebagaimana kita juga ingin orang lain menghargai
pendirian yang kita yakini.
Tulisan ini tidak untuk ditujukan
pembenaran suatu klaim dari jemaah tertentu dan tidak pula dimaksudkan untuk
menyudutkan suatu pandangan tertentu pula, semua ini hanyalah karena terdorong
rasa kerinduan terhadap hadirnya kembali ruh-ruh Muhammad maupun sosok Ali bin
Abu Thalib r.a yang mencintai persaudaraan dan kesatuan umat Islam.
"Sesungguhnya mereka yang
memperdebatkan ayat-ayat Allah dengan tidak ada alasan yang datang kepada
mereka, tidak ada didada-dada mereka melainkan kesombongan yang mereka tidak
akan sampai kepadanya."
(Qs. al-Mu'min 40:56)
(Qs. al-Mu'min 40:56)
"Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan didalamnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya."
(Qs. al-Israa 17:36)
(Qs. al-Israa 17:36)
Wassalam,