PENGERTIAN ZAKAT DALAM BIDANG EKONOMI

Pengertian zakat menurut Hafidhuddin (2002), ditinjau dari segi bahasa, kata  zakat  mempunyai  beberapa  arti,  yaitu  al-barakatu keberkahan ,  an- namaa pertumbuhan dan perkembangan , ath-thaharatu kesucian , dan ash- shalahu   kebersihan .   Sedangkan   secara   istilah,   meskipun   para   ulama mengemukakannya dengan redaksi yang agak berbeda antara satu dengan yang lainnya, akan tetapi pada prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat itu adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT mewajibkan kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyaratan tertentu pula.

Zakat adalah suatu rukun yang bercorak sosial-ekonomi dari lima rukun Islam. Dengan zakat, disamping ikrar tauhid (syahadat) dan shalat, seorang barulah sah masuk ke dalam barisan umat Islam dan diakui keislamannya, sesuai dengan firman Allah:
³Tetapi  bila  mereka  bertaubat,  mendirikan  shalat,  dan  membayar zakat, barulah mereka saudara kalian seagama´ (Qur an, 9 : 11)
Menurut Qardawi (1999), sekalipun zakat dibahas di dalam pokok bahasan Ibadat, karena dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari shalat, sesungguhnya merupakan bagian sistem sosial ekonomi Islam.




Persyaratan Harta Benda yang Wajib Dizakati

Menurut Hafidhuddin (2003), harta obyek zakat dikemukakan dalam Al- Qur an  bersifat  terinci  (tafsil),  juga  bersifat  global (ijmali).  Yang  bersifat terinci seperti emas dan perak (at-Taubah: 34-35), hasil pertanian (al-An aam:
141), perdagangan (al-hadits), peternakan (al-hadits), rikas (al-hadits). Sedangkan yang bersifat global adalah semua harta yang didapatkan dengan cara yang baik dan halal (at-Taubah: 103 dan al-Baqarah: 267 dan beberapa hadits Nabi), yang telah memenuhi persyaratan sebagai obyek zakat.
Secara umum dan global Al-Qur an menyatakan bahwa zakat itu diambil dari setiap harta yang kita miliki, seperti dikemukakan dalam surat at-Taubah:
103 dan juga diambil dari setiap hasil usaha yang baik dan halal, seperti juga digambarkan dalam surat al-Baqarah: 267. (Hafidhuddin, 2002)
Sejalan dengan ketentuan ajaran Islam yang selalu menetapkan standar umum pada setiap kewajiban yang dibebankan kepada umatnya, maka dalam penetapan harta menjadi objek zakat pun terdapat beberapa ketentuan yang harus  dipenuhi.  Apabila  harta  seorang  muslim  tidak  memenuhi salah  satu ketentuan, maka harta tersebut belum menjadi sumber atau objek yang wajib dikeluarkan zakatnya. (Hafidhuddin: 2002)
Qardawi (1999) menguraikan syarat-syarat harta yang wajib dizakati sebagai berikut:
2.2.1.     Milik Penuh

Pemilikan berarti menguasai dan dapat  dipergunakan sesuai dengan  pengertian  yang  terdapat  di  dalam  kamus.  Di  dalam  al-Mu jam   al-Wasith   disebutkan   bahwa   memiliki   sesuatu   berarti menguasai dan hanya ia yang dapat menggunakannya.
Kesimpulan yang hampir sama pula diberikan oleh Mughniyah (2000) bahwa yang dimaksud dengan pemilikan penuh adalah orang yang mempunyai harta itu menguasai sepenuhnya terhadap harta bendanya, dan dapat  mengeluarkannya sekehendaknya. Maka harta yang hilang, tidak wajib dizakati. Begitu juga harta yang dirampas dari pemiliknya, sampai harta itu kembali kepadanya.
Alasan dari penetapan syarat ini, seperti yang dikemukakan Hafidhuddin (2002) adalah penetapan kepemilikan yang jelas (misalnya  harta  kamu  atau  harta  mereka).  Misalnya  dalam  al- Ma aarij: 24 25
³Dan   orang-orang   yang   dalam   hartanya   tersedia   bagian tertentu bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta)´

Alasan  lain  dikemukakan  bahwa  zakat  itu  pada  hakikatnya adalah pemberian kepemilikan pada para mustahik dari para muzakki. Adalah suatu hal yang sangat tidak mungkin, apabila seseorang (muzakki) memberikan kepemilikan kepada orang lain (mustahik) sementara dia sendiri (muzakki) bukanlah pemilik yang sebenarnya.

Ketentuan-ketentuan lain syarat pemilikan penuh adalah sebagai berikut:
2.2.1.1.  Kekayaan yang Tidak Mempunyai Pemilik Tertentu Berdasarkan    hal-hal   di   atas   apabila   kekayaan   tidak mempunyai pemilik maka kekayaan itu tidak wajib dizakati.
2.2.1.2.  Tanah Wakaf dan Sejenisnya

Demikian pula hukumnya wakaf yang diberikan kepada fakir miskin, mesjid, pejuang, anak yatim, sekolah, dan sebagainya yaitu bahwa zakat atasnya tidaklah wajib.
2.2.1.3.  Harta Haram Tidak Wajib Zakat

Dipersyaratkannya harta milik sebagai syarat wajib zakat membuat kekayaan yang diperoleh dengan cara yang tidak baik dan haram tidak termasuk ke dalam wajib zakat. Begitu pula substansi bendanya, seperti yang dikemukakan oleh Hafidhuddin (2002),  hal ini didasarkan pada  firman  Allah SWT (al-Baqarah: 267)
³Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan darinya, padahal kamu sendiri tidak mau   mengambilnya   melainkan   dengan   memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.´

2.2.1.4.  Zakat Pinjaman

Persoalan yang timbul oleh karena adanya ketentuan milik penuh mengenai zakat pinjaman ini, apakah zakatnya wajib atas orang yang meminjamkan berdasarkan bahwa ia adalah pemiliknya yang sebenarnya ataukah atas orang yang meminjam berdasarkan bahwa dialah yang menggunakan dan memperoleh keuntungan dari pinjaman itu.
Mayoritas (Jumhur) ahli fikih semenjak masa sahabat sampai kepada seterusnya, berpendapat bahwa pinjaman itu ada dua macam:
(a) Pinjaman yang diharapkan kembali, yaitu pinjaman yang jelas dari orang yang berkecukupan. Dalam hal ini zakatnya dimajukan bersama dengan kekayaan yang ada setiap tahun.
(b) Pinjaman  yang  tidak  diharapkan  kembali  lagi,  yaitu pinjaman dari orang yang tidak berkecukupan yang tidak akan mungkin membayarnya kembali atau pinjaman dari seseorang yang tidak mengakui hutangnya sedangkan pemilik tidak mempunyai bukti apa pun. Dalam hal ini terdapat beberapa pendapat. Tetapi pendapat yang dipandang lebih kuat oleh Qardawi (1999) adalah dikarenakan kekayaan seperti ini bukanlah pemilikan penuh dan pemilikan yang tidak penuh bukanlah nikmat sempurna, sedangkan zakat hanya diwajibkan untuk kompensasi nikmat sempurna yang diterima itu.


2.2.1.5.  Imbalan dan Simpanan Pegawai

Dalam kasus seperti itu zakatnya wajib dikeluarkan setiap tahun bila jumlahnya sampai senisab dan memenuhi syarat- syarat lain seperti bebas dari hutang dan sebagainya.
2.2.2.     Berkembang

Ketentuan  tentang  kekayaan  yang  wajib  dizakatkan  adalah bahwa kekayaan itu berkembang dengan sengaja atau mempunyai potensi untuk berkembang.
Menurut    ahli-ahli    fikih,    berkembang    (nama )    menurut terminologi berarti bertambah. Pengertian ini terbagi menjadi dua, yakni bertambah secara konkrit dan bertambah tidak secara konkrit. Secara konkrit berarti bertambah akibat pembiakan dan perdagangan dan sejenisnya,  yang tidak konkrit  adalah kekayaan itu  berpotensi berkembang baik berada di tangannya maupun di tangan orang lain atas namanya.
2.2.3.     Cukup Mencapai Nisab

Islam tidak mewajibkan zakat atas seberapa saja besar kekayaan yang  berkembang  sekalipun kecil sekali, tetapi memberi ketentuan sendiri yaitu sejumlah tertentu yang dalam ilmu fikih disebut nisab. Dengan kata lain nisab ialah jumlah minimal yang menyebabkan harta terkena kewajiban zakat (Hafidhuddin, 2002)

2.2.4.     Lebih dari Kebutuhan Biasa

Di antara ulama-ulama fikih ada yang menambahkan ketentuan nisab kekayaan yang berkembang itu dengan lebihnya kekayaan itu dari  kebutuhan  biasa  pemiliknya,  misalnya  ulama-ulama  Hanafi dalam kebanyakan kitab mereka.
Tetapi ada ulama-ulama yang tidak memasukkan ketentuan itu dalam kekayaan yang berkembang. Menurut mereka kebutuhan merupakan persoalan pribadi yang tidak bisa dijadikan patokan. Oleh karena  juga kebutuhan  manusia  sesungguhnya  banyak  sekali  yang tidak terbatas, terutama pada masa kita sekarang yang menganggap barang-barang mewah sebagai kebutuhan dan setiap kebutuhan berarti primer. Oleh karena itu setiap yang diinginkan oleh manusia tidaklah bisa disebut sebagai kebutuhan rutin.
Hal terpenting yang dapat kita lihat di sini adalah bahwa kebutuhan rutin manusia itu berubah-rubah dan berkembang sesuai dengan perubahan zaman, situasi, dan kondisi setempat. Maka dari itu dalam penentuan hal ini, sebaiknya diserahkan kepada penilaian para ahli dan ketetapan yang berwenang.
2.2.5.     Bebas dari Hutang

Pemilikan sempurna yang dijadikan persyaratan wajib zakat dan harus lebih dari kebutuhan primer di atas haruslah pula cukup senisab yang sudah bebas dari hutang. Bila pemilik mempunyai hutang yang







menghabiskan  atau  mengurangi  jumlah  senisab  itu,  zakat  tidaklah wajib.
Syarat yang tidak diperselisihkan lagi adalah bahwa hutang itu menghabiskan atau mengurangi jumlah senisab, sedangkan yang lain tidak ada lagi untuk mengganti atau untuk mengimbalinya.
2.2.6.     Berlalu Setahun

Maksud dari berlalu   setahun adalah bahwa kepemilikan yang berada di tangan si pemilik sudah berlalu masanya dua belas bulan Qamariah. Jadi tahun yang dipakai sebagai pedoman dalam penghitungan  zakat  adalah  tahun  Hijriyah,  seperti  yang  dijelaskan pula oleh Mughniyah (2000). Jadi bila menggunakan tahun Masehi, maka besarnya zakat bukan lagi sebesar 2,5% tetapi sebesar 2,575%. Hal ini sesuai dengan ketetapan The Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAO-IFI) 1998, yang dikutip Iwan Triyuwono dan Muhamad As udi (2001).
Persyaratan  setahun  ini  hanya  untuk  ternak,  uang,  dan  harta benda dagang, yaitu yang dapat dimasukkan ke dalam istilah zakat modal.  Tetapi  hasil  pertanian,  buah-buahan,  madu,  logam  mulia, harta karun, dan lain-lain yang sejenis, tidaklah dipersyaratkan satu tahun, dan semuanya itu dapat dimasukkan ke dalam istilah zakat pendapatan.

Artikel Terkait