Berdagang
adalah kegiatan bisnis yang dilakukan dengan cara membeli
barang dagangan
dan kemudian menjualnya lagi untuk mendapatkan keuntungan. Di
dalam aturan zakat perdagangan,
perdagangan yang dimaksud adalah perdagangan yang disertai dengan maksud untuk memperdagangkan,
baik itu niat maupun perbuatan.
Seperti yang diungkapkan Qardawi (1999), bahwa yang menjadi patokan
dalam niat itu adalah
prinsipnya. Bila prinsipnya adalah bila barang itu untuk dipakai dan
digunakan sendiri maka keinginan
untuk menjual barang itu kembali bila menguntungkan tidaklah
mengubah
sifat barang itu sebagai barang
dagang. Begitu pula sebaliknya, apabila barang itu prinsipnya adalah
untuk
dijual dan
diperdagangkan maka
penggunaan pribadi
tidak mengubah sifat barang tersebut sebagai barang
dagang menjadi
barang yang akan dipakai sendiri yang tidak berkembang.
Menurut
Qardawi (1999),
seseorang
yang memiliki kekayaan perdagangan dan masanya sudah berlalu setahun (Qomariyah) serta nilainya sudah
sampai senisab pada akhir tahun itu maka orang itu wajib mengeluarkan zakatnya sebesar 2,5 %, dihitung dari modal dan keuntungan, bukan
dari
keuntungan saja. Sedangkan nisabnya, menurut satu nisab
emas
sebesar 85 gram emas.
Meskipun terdapat berbagai
pendapat tentang waktu penghitungan nisab, pendapat yang lebih kuat menurut Qardawi (1999) adalah pendapat Syafi’ i,
dimana nisab itu diperhitungkan di akhir tahun saja. Jadi apabila nisab sudah cukup pada suatu masa, maka mulai saat itu perhitungan sudah berlaku dan merupakan permulaan tahun perhitungan zakat bagi seorang Muslim.
Sedangkan cara pengitungan zakat adalah dengan menghitung jumlah kekayaan: modal (baik kas maupun persediaan barang dagangan), laba, simpanan, dan piutang yang diharapkan
kembali, dikurangi hutang , dan bila mencapai senisab dikeluarkan zakatnya 2,5%.
Sedangkan barang tak bergerak, seperti bangunan dan perabot yang ada di toko atau sejenisnya, yang tidak diperjual belikan dengan maksud mencari keuntungan, maka
hal tersebut tidaklah dihitung sebagai harta
yang wajib
dizakati. Sifatnya dalam hal seperti
itu sama
dengan barang untuk penggunaan
pribadi.
Sedangkan harga barang yang dipakai
sebagai alat ukur persediaan, menurut pendapat
Jumhur, yaitu barang pada saat jatuh
tempo dinilai
berdasarkan harga
pasar waktu
itu.
Sedangkan bentuk zakat yang dikeluarkan,
menurut
Yusuf Qardawi
dalam Hukum Zakat, pendapat yang lebih kuat adalah fatwa yang mengatakan bahwa zakat harus dikeluarkan berupa uang bukan barang, oleh karena nisab barang dagang dihitung berdasarkan harganya.