Landasan hukum
kewajiban zakat
pada
perusahaan adalah
nash-nash yang
bersifat
umum. Perusahaan yang dikaitkan dengan kewajiban zakat haruslah
dengan
produk yang
halal dan dimiliki
oleh orang-orang
yang beragama Islam, atau jika pemiliknya bermacam-macam
agamanya, maka berdasarkan
kepemilikan saham
dari
yang beragama
Islam (Hafidhuddin,
2002).
Landasan hukum zakat perusahaan dapat ditelaah pada surat al-Baqarah;
267 dan at-Taubah: 103 yang memang bersifat umum, juga merujuk kepada sebuah
hadits
riwayat Imam Bukhari
(hadits ke-1448 dan
dikemukakan
kembali dalam hadits ke-1450 dan 1451) dari Muhammad bin Abdillah al-
Anshari dari bapaknya, ia berkata bahwa Abu Bakar r.a telah menulis sebuah surat yang berisikan kewajiban yang diperintahkan oleh
Rosulullah
saw.
³... Dan janganlah disatukan (dikumpulkan) harta
yang mula-mula terpisah. Sebaliknya jangan
pula dipisahkan harta
yang pada mulanya bersatu, karena takut mengeluarkan zakat.´
³... Dan harta yang disatukan dari dua orang yang berkongsi, maka dikembalikan kepada keduanya secara sama´.
Meskipun awalnya hadits
tersebut ditujukan dalam perkongsian hewan ternak, dalam
perkembangannya Jumhur
ulama mempergunakannya dengan
meng-qiyas
(analogi) kepada
bentuk
syirkah
yaitu perkongsian
serta
kerja
sama usaha. (Hafidhuddin, 2002).
Berdasarkan hal tersebut maka keberadaan perusahaan sebagai wadah usaha menjadi badan hukum menurut Muktamar Internasional pertama tentang
Zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H) menyatakan bahwa kewajiban zakat sangat terkait dengan perusahaan, dengan catatan
antara lain adanya kesepakatan
sebelumnya antara para pemegang saham, agar terjadi keridhaan.
Dalam kaitan dengan kewajiban zakat perusahaan ini, dalam Undang-
Undang No 38 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat, Bab IV pasal 11 ayat (2)
bagian
(b)
dikemukakan
bahwa
di antara
objek
zakat
yang wajib dikeluarkan
zakatnya adalah perdagangan dan perusahaan.
Zakat perusahaan tersebut dianalogikan pula dengan zakat perdagangan dalam penghitungannya, karena pada prinsipnya perusahaan intinya berpijak pada kegiatan trading atau perdagangan. Pola penghitungan
zakatnya didasarkan pada laporan keuangan (neraca) dengan mengurangkan kewajiban atas aktiva lancar. (Hafidhuddin, 2002)
Perbedaan Zakat, Infak, Sedekah, dan Pajak
Perusahaan
Menurut Hafidhuddin (2003)
perbedaan infak dan
sedekah
terhadap
zakat ialah
tidak
ada
nishab yang
ditentukan, tidak ada persentase, dan penerimanya tidak terbatas.
Dipergunakannya kata tersebut (infak
dan
sedekah) dalam beberapa ayat Al-Qur’ an dengan maksud zakat, dikarenakan memiliki kaitan yang sangat kuat
dengan zakat. Zakat
disebut infak (at-Taubah : 34) karena hakikatnya zakat
itu adalah
penyerahan harta untuk kebajikan-kebajikan yang diperintahkan Allah SWT. Disebut sedekah (at-Taubah : 60 dan
130) karena memang salah satu
tujuan
utama
zakat adalah
untuk
mendekatkan diri
(taqarrub) kepada Allah SWT. (Hafidhuddin, 2002)
Zakat bukanlah pajak yang untuk menjamin penerimaan
negara. Sebab,
distribusi hasil pengumpulan zakat harta ditujukan kepada delapan
kelompok yang
telah
ditentukan. Zakat merupakan sarana untuk menyucikan harta seseorang sebagaimana disebut dalam surat at-Taubah (103). Jadi zakat tidak sama dengan pajak, zakat memiliki unsur spiritual. (Muhammad, 2000)
Qardawi
(1999) menyebutkan bahwa meskipun zakat dan pajak sama-
sama merupakan kewajiban dalam bidang harta,
namun
keduanya mempunyai
falsafah yang khusus, dan keduanya berbeda sifat dan
asasnya, berbeda sumbernya, sasaran, bagian
serta
kadarnya, disamping berbeda pula mengenai
prisip, tujuan dan jaminannya.