KENAPA SHOLAT HARUS DIDAHULUI OLEH AZAN ?

Azan adalah seruan sebagai pertanda sudah masuknya waktu sholat, sekaligus sebagai seruan pemanggil umat agar orang-orang berkumpul dan bisa melakukan ibadah sholat secara berkelompok atau berjemaah. Secara kontekstual, tidak ada satu ayatpun didalam al-Qur’an yang menjelaskan perihal azan ini apalagi mengatur tata cara dan bacaannya, tetapi seruan ini secara umum bisa dijumpai secara tersirat dari beberapa ayat al-Qur’an.

Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari'at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan ini dan serulah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus. - Qs. 22 al-Hajj 67
Dan katakanlah: Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempuyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan tidak mempunyai penolong dari kehinaan dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebenar-benarnya. - Qs. 17 al-Israa’ 111
Lebih detail lagi, masalah azan ini bisa dijumpai dalam beberapa hadis sebagai berikut :
Dari Malik bin al-Huwairits, sesungguhnya Nabi Saw telah bersabda: Apabila waktu sholat telah tiba maka hendaklah salah seorang diantara kamu adzan untuk sholatmu itu; dan hendaklah yang tertua diantara kamu itu yang bertindak sebagai imam bagi kamu. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim
Riwayat Abdullah bin Umar, ia berkata :
Dahulu, orang-orang Islam ketika tiba di Madinah, mereka berkumpul lalu memperkirakan waktu Sholat. Tidak ada seorangpun yang menyeru untuk Sholat. Pada suatu hari mereka membicarakan hal itu. Sebagian mereka berkata : Gunakanlah lonceng seperti lonceng orang Kristen.; Sebagian yang lain berkata : Gunakanlah terompet seperti terompet orang Yahudi.; Kemudian Umar berkata : Mengapa kalian tidak menyuruh seseorang agar berseru untuk sholat? Rasulullah Saw bersabda : Hai Bilal, bangunlah dan serulah untuk sholat - Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i dan Ahmad
Rasulullah Saw mempunyai dua muadzin, Bilal dan Ibnu Ummu Maktum yang buta - Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Ahmad, Malik dan al-Darami
Dengan demikian masalah azan seperti ada tidaknya dalil tertulis didalam al-Qur’an atau apakah ada beberapa perbedaan lafash antara satu jemaah dengan jemaah yang lainnya tidak harus menjadi suatu permasalahan yang memecah kesatuan umat dan menghilangkan makna persaudaraan Islam. Sesuatu hal yang sangat wajar dan alamiah sekali alasannya kenapa "harus ada" adzan untuk sholat. Saat kita masih sekolah (terutama SD) kita sering melakukan gerak baris-berbaris, melakukan upacara bendera setiap hari senin pagi, dan untuk mengumpulkan siswa ditanah lapang biasanya bapak atau ibu guru menekan bel ataupun memukul lonceng sebagai tanda dan isyarat bahwa waktunya sudah tiba.
Dahulu ketika saya masih aktif mengajar dikelas web programming, semua murid belum mau berkemas untuk pulang sebelum terdengar bel, padahal waktu sudah lewat dari jadwal seharusnya, ketika saya tanya " ... pada nggak mau pulang nih ... ?" ; mereka jawab : "khan belum bel, pak !" ; ya, mereka menunggu isyarat yang memastikan bahwa waktu untuk pulang memang sudah tiba. Lalu kenapa juga masalah ada tidaknya adzan didalam al-Quran harus dipermasalahkan ? Sering saya katakan berulang kali ... jangan terlalu berlebihan dalam suatu perbuatan, mari kita bumikan ajaran langit sesuai fitrah kemanusiawian yang ada. Pahamilah agama dengan penuh kewajaran dan kelogisan, selama sesuatu itu bisa dimanfaatkan untuk mendatangkan kebaikan maka kenapa tidak menggunakannya, apalagi Rasul sudah jelas mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari beliau yang bisa dilihat dari sunnah yang ada.

Sebagaimana yang pernah kita bahas sebelumnya (lihat artikel saya mengenai kontroversi kisah penjemputan sholat pada peristiwa Mi'raj Nabi), bahwa perintah sholat merupakan tradisi yang diwariskan semua Nabi dan Rasul sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Ibadah Sholat ini disebutkan juga dalam al-Qur’an dilakukan dengan cara ruku dan sujud. Meski demikian, al-Qur’an tidak memberikan detil lebih jauh mengenai teknis pengerjaan sholat dalam mewujudkan ruku dan sujud tersebut.
Tradisi sholat yang ada dan berlaku didunia Islam dewasa ini pada dasarnya dipercaya merupakan sebuah tradisi yang pernah ada dijaman Nabi yang diajarkan dari generasi kegenerasi. Sejauh mana keakuratan tradisi ini bisa mengacu juga pada catatan-catatan yang ada dari para perawi hadis, baik mereka dari kalangan ahlussunnah maupun syiah sebagai dua aliran keagamaan terbesar didunia Islam.
Kaum ahlussunnah sangat terkenal dengan kepercayaan mereka terhadap kitab-kitab hadis catatan dari Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam Ahmad, Imam an-Nasa’i dan Imam Ibnu Majah serta beberapa nama perawi hadis lainnya. Begitupula halnya dengan kaum Syiah yang terkenal karena kefanatikannya terhadap Imam-imam dari kalangan ahli bait Nabi secara turun menurun yang diambil dari garis keturunan puteri beliau Fatimah dan Ali bin Abu Thalib r.a.
Meskipun ada beberapa perbedaan kecil dalam prakteknya, namun secara umum tata cara sholat yang bisa kita temui dari kedua aliran ini tidak jauh berbeda antara satu sama lainnya. Karenanya, sisi perbedaan yang ditemui masih bisa ditoleransikan. Hal inilah yang mengindikasikan kepada kita bahwa tradisi sholat yang berlaku pada jaman kita sekarang pasti tidak akan lari terlalu jauh dari yang pernah berlaku dijaman Nabi. Tulisan ini akan mencoba menjelaskan secara singkat dan umum mengenai tata cara sholat tersebut, baik berdasarkan al-Qur’an maupun as-Sunnah dari berbagai literaturnya..
Sebagai pengantar awal, harus kita ingat lagi bahwa Sholat adalah sarana untuk memuja Tuhan sebagai salah satu sikap bersyukur dan sekaligus waktu untuk melakukan dialog, mengadukan semua keluh kesah yang dialami dan mencari jalan keluar dari aneka ragam permasalahan yang ada. Lebih jauh lagi ditinjau dari sisi metafisika, Sholat tidak ubahnya sebuah ritual meditasi, pemusatan konsentrasi untuk menyelaraskan energi yang ada didalam tubuh (energi statis) terhadap energi diluarnya yang maha besar (yang bersifat dinamis).
Dengan demikian, saat sholat terjadi kita sebenarnya sedang memancarkan sinyal-sinyal frekwensi terhadap alam semesta, terhadap lingkungan kita dan menjangkau sinar-sinar kosmik ilahiah yang sifatnya tak hingga. Karena itulah orang yang selalu melakukan sholat secara baik, dia bisa terhindar dari energi negatif yang mencelakakannya atau menggiringnya kedalam kehinaan.
Sesungguhnya, sholat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar - Qs. 29 al-ankabut : 45
Sebelum memulai sholat, sudah menjadi kesepakatan semua umat Islam dari berbagai alirannya untuk melakukan thaharah atau bersuci, yaitu dengan cara berwudhu. Praktek ini diperkuat dengan adanya perintah tertulis mengenainya didalam al-Qur’an.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan kakimu sampai dengan kedua mata kaki – Qs. 5 al-Maaidah: 6
Dalam tradisi yang ada, teknis perintah berwudhu yang terdapat pada ayat diatas mengalami perkembangan, yaitu dengan adanya penambahan mencuci kedua tangan sebelum membasuh muka, lalu berkumur, menghisap air hidung, membasuh telinga hingga mencuci janggut. Meskipun demikian tidak bisa pula diartikan bahwa penambahan ini menyalahi ketentuan Allah didalam al-Qur’an. Kita bisa membaca dalam kitab-kitab hadis terkemuka bahwa penambahan yang terjadi ini dilakukan oleh Nabi Muhammad sendiri sebagai sunnah beliau untuk lebih membersihkan diri, apalagi bila kita ingat dimasa itu tanah Arabia sebagian besar terdiri dari bukit-bukit dan padang pasirnya sehingga debu dan kotoran cenderung lebih banyak melekat. Apalagi ada kemungkinan besar orang-orang Arab itu gemar memelihara jenggot sampai panjang kebawah, sementara al-Qur'an tidak memberikan informasi mengenai boleh tidaknya membasahi janggut sewaktu berwudhu, sederhana dan sepele kelihatannya, tetapi kita harus ingat, untuk urusan sepelepun terkadang kita sering salah, apalagi jika kita lihat konteks ayat tersebut turun dimana para pemeluk Islam generasi pertama masih dalam proses belajar agama yang baru mereka anut, adalah wajar dan rasional sekali bila hal seperti ini memerlukan jawaban atau contoh dari sipembawa ajaran itu sendiri.
Dari Usman bin Affan, bahwa ia pernah meminta bejana, lalu ia menuangkannya keatas kedua telapak tangannya kemudian membasuhnya, lalu memasukkan yang sebelah kanan didalam bejana, kemudian berkumur dan mengisap air hidung, kemudian membasuh mukanya tiga kali dan kedua tangan sampai siku-siku tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, lalu membasuh kedua kakinya tiga kali sampai kedua mata kakinya. Kemudian berkata : ‘Aku melihat Rasulullah Saw berwudhu seperti wudhuku ini. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim
Dari Ali r.a, bahwa ia meminta air wudhu, kemudia ia berkumur dan mengisap air hidung dan menyemburkan air hidung dengan tangan kirinya, maka ia berbuat ini tiga kali kemudian berkata : ‘Inilah bersucinya Nabi Saw.’ – Riwayat Ahmad dan Nasa’i
Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Saw mengusap kepalanya dan dua telinganya, luar dan dalamnya. – Riwayat Tirmidzi

Dari anas, bahwa Nabi Saw apabila berwudhu maka mengambil seciduk air kemudian memasukkannya dibawah cetaknya lalu ia menyela-nyela jenggotnya dan bersabda : ‘Demikianlah Tuhanku memerintahkanku.’ – Riwayat Abu Daud
Karena sifatnya hanya sunnah, maka berpulang kepada diri kita saja berdasarkan situasi dan kondisi, apakah ingin berwudhu secara sederhana dan mudah yaitu dengan mengikuti ketentuan al-Qur’an atau dengan mencontoh sunnah Nabi-Nya. Tidak ada yang perlu dipertentangkan secara khusus mengenai berwudhu ini, sama misalnya disebutkan didalam Hadis, bahwa seandainya saja bersiwak atau menggosok gigi tidak akan memberatkan umatnya pasti akan disunnahkan oleh Nabi pula untuk melakukannya sebelum kita melakukan sholat.
Dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw : Beliau bersabda : seandainya aku tidak khawatir akan memberatkan orang-orang beriman (dalam hadis riwayat Zuhair, disebut umatku), niscaya aku perintahkan mereka bersiwak setiap kali akan sholat. - Riwayat Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Abu Daud, Ibnu Majah, Ahmad, Malik dan Al-Darami
Berwudhu bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan air dan menggunakan tanah atau debu yang sudah dibersihkan. Adapun cara kedua tersebut dilakukan hanya apabila tidak dijumpainya air yang bersih atau karena sakit yang mengakibatkannya tidak dapat bersentuhan dengan air.
Dan jika kamu sakit atau habis buang air atau kamu selesai bersetubuh sedang kamu tidak mendapat air maka hendaklah kamu cari debu yang bersih, lalu hendaklah kamu sapu muka kamu dan tangan kamu karena sungguh Allah itu sangat memudahkan dan Maha mengampuni. - Qs. 4 an-Nisaa’ 43
Usai melakukan wudhu, berdirilah tegak menghadap kiblat (arah masjid al-Haram) lalu mulailah bertakbir , yaitu mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Istilah Allahu Akbar ini memang tidak dijumpai dalam al-Qur’an, sebaliknya al-Qur’an memperkenalkan sifat al-Kabir sebagai salah satu asma Allah
Akan tetapi harus diingat bahwa dalam ayat-ayat tersebut Tuhan memerintahkan kita untuk mengagungkan-nya, membesarkan-Nya. Sementara kata al-Kabir sendiri berfungsi sebagai kata kerja (verb) didalam bahasa Arab yang jika diucapkan (dilakukan) bisa menjadi Akbar, Istilah Takbirah adalah bentuk noun dari ungkapan Allahu Akbar sebagaimana yang bisa dijumpai dalam tradisi Arabia.
Surah 17:111 menyebutkan istilah  #yang artinya agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebenar-benarnya (Kabbir takbiran) dan ini adalah bersamaan maknanya dengan Allahu Akbar (Allah Maha Besar). Kita tidak bisa menolak istilah Allahu Akbar seperti yang dijumpai dalam tradisi sholat dan diriwayatkan oleh sejumlah hadis hanya karena istilah ini tidak dijumpai didalam al-Qur'an, apalagi menggantinya dengan istilah Allahu Kabir seperti yang dilakukan oleh sejumlah orang ingkar sunnah. Terbukti didalam tradisi yang sampai kepada kita dari generasi kegenerasi, tidak ada satupun terdengar berita dalam berbagai saluran periwayatan bahwa Nabi ataupun seorang Muslim diluarnya mengucapkan Allahu Kabir didalam sholat.
Bersamaan waktunya dengan takbir, kita mengangkat kedua tangan sejajar dengan telinga, adapun salah satu hikmahnya sebagai isyarat perpisahan sementara, meninggalkan urusan duniawi dan mengembalikan semua urusan kepada Allah, Tuhan yang Maha Berkehendak.
Dari Ali bin Abu Thalib, dari Rasulullah Saw : ‘Sesungguhnya beliau apabila berdiri untuk sholat wajib, beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya berbetulan dengan kedua pundaknya.’ – Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi
Dalam satu riwayat, sesungguhnya Rasulullah Saw apabila takbir, ia mengangkat kedua tangannya sehingga berbetulan dengan kedua telinganya. – Riwayat Ahmad dan Muslim
Menurut riwayat Abu Daud dari ‘Ashim bin Kulaib dari ayahnya dan Wail bin Hujr, bahwa Nabi merapatkan antara jari-jari kedua tangannya itu dan Wail berkata : ‘Sehingga berbetulan punggung kedua telapak tangannya itu dengan pundak dan ujung-ujung jarinya dengan telinga’
Dari Ibnu Umar, ia berkata : Adalah Rasulullah Saw bila berdiri untuk sholat, mengangkat kedua tangannya sehingga berbetulan dengan kedua pundaknya itu lalu bertakbir. – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim
Dengan demkian maka posisi tangan saat takbir adalah berada sejajar terhadap bahu dengan jari-jarinya sejajar dengan telinga.
Selanjutnya kedua tangan yang tadinya diangkat diturunkan keposisi antara perut dan dada seraya membaca do’a iftitah atau do’a pembuka, dan salah satu dari do’a pembuka yang juga sering dibaca Nabi adalah sebagaimana diterangkan hadis berikut :
Dari Ali bin Abu Thalib, ia berkata : Adalah Nabi Saw bila berdiri sholat beliau membaca : “Wajjahtu Wajhiya Lilladzi Fathorossamaawaatiwal ardho, haniefam muslimaw wamaa ana minal musrykin, inna sholati wanusukie wamahyaaya wamamaatie lillaahi Robbil ‘Aalamin. Laa Syarikalah Wabidzalika umirtu wa ana minal muslimin. Allahumma Antal Mulku Laailaaha ilaa Anta, Anta Robbi Wa ana ‘Abduka, Zholamtu Nafsi, Wa’taraftu Bidzahbi Faghfirli Dzunubi Jami’an, ...(Kuhadapkan wajahku kepada dzat yang menjadikan langit dan bumi dengan lurus dan penuh totalitas, bukanlah aku tergolong orang-orang yang menyekutukan Allah. Sesungguhnya, Sholatku, Ibadahku, hidupku dan matiku adalah untuk Allah, Tuhan yang mengatur alam semesta, tiada sekutu bagi-Nya dan untuk itulah aku diperintah, dan aku adalah tergolong orang-orang yang Muslim. Ya Allah ya Tuhanku. Engkau adalah raja yang tiada tuhan melainkan Engkau, Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu, aku telah berbuat zalim kepada diriku sendiri dan aku telah mengakui dosa-dosaku, karenanya ampunilah dosa-dosaku semuanya).
Adapun menyangkut posisi kedua tangan, maka tangan kanan berada diatas tangan kiri sebagaimana terdapat dalam beberapa riwayat yang akan disebutkan. Pengaturan yang seperti ini bisa kita duga sebagai bentuk sikap takzim dan hormat kepada Allah sipemilik kebenaran, layaknya dalam kehidupan ini seorang tentara yang juga memiliki sikap takzim tertentu tatkala ia menghadap seorang Jenderal atasannya :
Dari Ali, ia berkata : ‘Sesungguhnya salah satu dari tuntunan Nabi mengenai Sholat, yaitu meletakkan telapak tangan diatas telapak tangan, dibawah pusar’. - Riwayat Ahmad dan Abu Daud
Dari Ibnu Mas’ud, sesungguhnya ia pernah sholat, lalu ia meletakkan tangan kirinya diatas tangan kanan, kemudian perbuatannya itu dilihat oleh Nabi Saw, lalu beliau meletakkan tangan kanannya diatas tangan kiri – Riwayat Abu Daud, Nasai dan Ibnu Majah
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa dalam sholat, pandangan mata kita seyogyanya tidak berpaling dari tempat sujud apalagi sampai celingukan kesana kemari. Hal ini bisa kita terima secara logis, bahwa dalam melakukan konsentrasi hal yang pertama harus kita lakukan adalah pemusatan pikiran, seseorang tidak akan bisa konsentrasi selama dia tidak menyelaraskan semua panca inderanya. Karena itu seorang ahli hypnotis selalu mengarahkan obyeknya untuk fokus pada satu titik tertentu. Begitupun dengan sholat yang kita memang diperintahkan untuk bersikap khusuk yaitu suatu sikap konsentrasi yang diikuti oleh hati, gerakan tubuh dan pikiran.
Dari Abdullah bin az Zubair, ia berkata : Adalah Rasulullah Saw apabila duduk dalam tahyat, beliau meletakkan tangan kanan diatas pahanya yang kanan pula, sedang tangannya yang kiri diatas pahanya yang kiri. Dan beliau berisyarat dengan telunjuknya, sedang pandangannya tidak melebihi isyaratnya tersebut. – Riwayat Abu Daud, Nasai dan Ahmad
Luruskan mukamu di setiap sholat dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan keta'atanmu kepada-Nya - Qs. 7 al-a’raaf 29
Setelah membaca do’a iftitah maka kita diwajibkan untuk membaca surah al-Fatihah sebagaimana bisa kita lihat dalam beberapa riwayat hadis berikut ini :
Tidaklah sholat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah – Riwayat Bukhari dan Muslim
Tidak cukup sholat bagi orang yang tidak membaca al-Fatihah – Riwayat Daruquthni
Dari ‘Aisyah ia berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda : ‘Barangsiapa sholat dengan tidak membaca Ummul Qur’an (al-Fatihah), maka sholatnya itu tidak sempurna’ - Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah
Meskipun demikian dibeberapa riwayat lainnya kewajiban membaca al-Fatihah ini bisa diganti dengan bacaan-bacaan lainnya bagi mereka-mereka yang memang belum atau tidak bisa membaca ayat-ayat al-Qur’an dengan baik (lafal dan artinya), dalam konteks kita sekarang keringanan ini berlaku bagi para muallaf atau orang-orang yang baru memeluk Islam dan sedang belajar Sholat.
Dari Rifa’ah bin Rafi’, sesungguhnya Rasulullah Saw mengajar sholat kepada seorang laki-laki, lalu ia bersabda : ‘Jika kamu bisa membaca Qur’an maka bacalah, tetapi jika tidak, maka bacalah ‘alhamdulillah, Allahu Akbar dan Laa ilaaha Illallah (Segala puji bagi Allah, Allah Maha Besar dan Tiada tuhan selain Allah); kemudian ruku’lah – Riwayat Abu Daud dan Tirmidzi
Dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata : Seorang laki-laki datang kepada Nabi, lalu ia berkata : ‘Aku tidak dapat membaca Qur’an sama sekali, oleh karena itu ajarlah aku bacaan yang kiranya bisa mencukupi sholatku’, maka bersabdalah Nabi : ‘Bacalah : Subhanallah Walhamdulillah Walaa ilaaha iLlaAllah Wallahu Akbar Walaa Haula Walaa Quwwata Illaa Billaah (Maha Suci Allah dan segala puji bagi Allah, Tiada tuhan kecuali Allah dan Allah Maha Besar, tiada daya upaya kecuali atas bantuan Allah) – Riwayat Ahmad, Abu Daud dan Nasai
Membaca al-Fatihahpun menjadi tidak wajib saat posisi seseorang menjadi makmum dari suatu sholat berjemaah.
Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw telah bersabda : ‘sesungguhnya imam itu dijadikan adalah untuk di-ikuti, karena itu apabila ia telah takbir maka takbirlah kamu dan apabila ia sudah membaca maka diamlah kamu’ – Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Daud dan Nasai
Dari Abdullah bin Syaddad meriwayatkan, sesungguhnya Nabi Saw telah bersabda : ‘Barangsiapa sholat dibelakang imam, maka bacaan imam itu adalah menjadi bacaannya’. – Riwayat Daruquthni
Cukuplah buatmu bacaan imam itu, baik dia membacanya perlahan ataupun nyaring – Riwayat Khallal dan Daruquthni
Dijadikan imam itu hanya untuk di-ikuti, lantaran itu apabila ia takbir hendaklah kamu takbir dan bila ia membaca hendaklah kamu diam – Riwayat Ahmad
Dari Abu hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw setelah selesai mengerjakan Sholat yang ia keraskan bacaannya, lalu bertanya : ‘Apakah tadi ada seseorang diantara kamu yang membaca bersama aku ? ‘ – maka berkatalah seseorang : ‘Betul, ya Rasulullah ! kemudian Nabi bertanya : ‘Mengapa aku dilawan dengan al-Qur’an ?’ – Riwayat Abu Daud, Nasai dan Tirmidzi
Telah berkata Jabir : barangsiapa sholat satu raka’at dengan tidak membaca al-Fatihah maka tidak disebut Sholat kecuali dibelakang imam – Riwayat Malik
Dari ‘Aisyah, ia berkata : Rasulullah Saw pernah sholat dirumahnya dalam keadaan sakit, lalu beliau sholat dengan duduk. Dan datang sekelompok orang sholat dibelakangnya dengan berdiri. Lalu Nabi memberi isyarat kepada mereka ‘hendaklah kalian duduk’. Lalu ketika selesai sholat, Nabi bersabda : ‘sesungguhnya imam itu dijadikan supaya di-ikuti, karenanya bila ia ruku’ maka ruku’lah dan bila ia mengangkat kepala maka angkatlah kepala kalian, bila ia sholat dengan duduk maka sholatlah pula kalian dengan duduk.’ – Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim
Memang ada beberapa hadis lain yang membuat pengecualian membaca al-Fatihah dibelakang imam yang sedang membaca surah al-Qur’an, namun penulis menganggap hadis-hadis tersebut bertentangan secara nyata dengan hadis-hadis diatas dan bahkan bertentangan dengan al-Qur’an sendiri yang mewajibkan kita diam saat al-Qur’an dibacakan serta secara rasio logikapun tidak bisa dibenarkan, sebab imam itu memang dijadikan untuk kita ikuti, kita harus melakukan koreksi setiap bacaan yang keluar dari mulut sang imam, jika memang ada salah maka kitapun wajib memperbaikinya, sekarang bagaimana kita akan tahu imam salah atau tidaknya jika kita sendiri sibuk membaca ayat al-Qur’an dibelakang imam yang juga sedang membaca ayat al-Qur’an ? dimana pula letak rahmat yang kita peroleh dari menentangkan al-Qur’an dengan al-Qur’an itu ?
Dan apabila Qur’an dibaca, maka perhatikanlah dan diamlah agar kamu mendapatkan rahmat.- Qs. 7 al-‘A’raaf : 203
Surah al-Fatihah sendiri merupakan surah pertama dalam al-Qur’an meskipun ia bukan surah pertama yang turun kepada Nabi, didalam surah al-Fatihah ini terdapat ayat-ayat pujian kepada Allah, ayat-ayat pengesaan akan dzat-Nya serta ayat-ayat do’a atau permohonan bantuan kita sebagai makhluk yang lemah terhadap Allah.
Surah al-Fatihah ini terdiri dari tujuh ayat dan mengenai susunannya memang terdapat perbedaan dikalangan ulama Islam, apakah ayat pertama dimulai dari Bismillah ataukah dimulai dari Alhamdulillah, namun sebenarnya hal ini tidak perlu dipertentangkan karena dalam sebuah hadis yang panjang dari Abu Hurairah riwayat Jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah disebutkan bahwa al-Fatihah itu dimulai dari Alhamdulillah, sementara bacaan Bismillah itu sendiri merupakan bacaan pemisah dan pembuka antar ayat-ayat al-Qur’an kecuali surah al-Bara’ah, dengan demikian ayat Bismillahhirrohmanirrohim ini bukan termasuk ayat al-Fatihah namun ia merupakan ayat tersendiri, sama seperti didalam surah-surah al-Qur’an yang lainnya.

Alhamdulillahhirobbil ‘Alamin (segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh makhluk) – ayat 1
Arrohmanirrohim (Yang sangat pengasih dan penyayang) – ayat 2
Maaliki yaumiddin (Yang menguasai hari pembalasan) – ayat 3
Iyyakana’budu waiyyakanasta’in (Hanya kepada-Mu saja kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami memohon bantuan) – ayat 4
Ihdinassirotol mustaqim (Tunjukkanlah kami pada jalan kebenaran) – ayat 5
Shirotolladzi na’anamta ’alaihim (Jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka) – ayat 6
Ghoiril maghduubi ‘alaihim waladdhollien (bukan jalan mereka yang Engkau murkai dan bukan jalan orang yang sesat) – ayat 7
Wassalam,

Artikel Terkait