Assalamu'alaykum Wr. Wb.
"Kawinkanlah orang-orang yang sendi
rian di antara kamu, dan orang-orang
yang patut (kawin) dari hamba sahayamu. Jika mereka miskin maka Allah akan
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi
Maha Mengetahui." (QS. An-Nuur 24:32)
"Hendaklah orang-orang yang belum mampu kawin bersabar sampai Allah
memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan orang-orang yang mencari ketetapan
(nikah) dari yang dimiliki tata hukummu hendaklah kamu buat perjanjian dengan
mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berilah mereka dari
harta yang Allah berikan padamu.
Janganlah kamu memaksa yang termasuk
tata hukummu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini
kesucian hanya karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi.
Dan barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah sesudah pemaksaan itu adalah Pengampun dan Penyayang". (QS. An-Nuur 24:33)
Hamba sahaya pada ayat 24:32 ialah para
pekerja yang sudah memiliki persyaratan untuk menikah secara garis hukum Islam, hamba sahaya berbeda dengan
budak.
Istilah "AIMAAN" berarti "TATA HUKUM" dapat dilihat pada ayat 4/3, 4/36, 5/89, 6/109, 9/12, 16/38, 16/71, 16/92, 16/94, 24/33, 35/42, 66/2, 68/39 dan lain-lain, yaitu ketentuan hukum yang berlaku dalam kehidupan, maka ketentuan hukum yang berlaku dalam Islam disebut "AIMAN", begitupula ketentuan hukum yang berlaku dalam keluarga karena terikat oleh pernikahan.
Oleh sebab itu MAA MALAKAT AIMAANUKUM berarti "siapa yang dimiliki tata hukummu", karena terikat oleh pernikahan. Namun jangan memaksa siapapun yang termaktub dalam tata hukum kita tersebut untuk menikah. Tetapi apabila dia dipaksa juga maka Allah akan memberikan keampunan-Nya tentang paksaan menikah itu.
Pada ayat 24/33 tersebut dapat dilihat adanya kebebasan berpikir atau memiliki pertimbangan bagi anggota keluarga untuk menentukan pasangan hidupnya masing-masing.
"Jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil pada anak-anak yatim, maka nikahilah yang baik bagimu dari perempuan (beranak yatim) dua, tiga dan empat. Namun bila kamu cemas tidak dapat berlaku adil maka satu saja atau yang dimiliki tata hukummu (yang sudah dinikahi). Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya." (QS. An-Nisaa' 4:3)
Masalah poligami yang di-izinkan oleh
Qur'an ini seringkali disalah
kaprahkan oleh para pemeluknya, bahwa seorang Muslim boleh kawin sampai memiliki 4 orang istri.
kaprahkan oleh para pemeluknya, bahwa seorang Muslim boleh kawin sampai memiliki 4 orang istri.
Bukankah satu-satunya dalil hukum untuk berpoligami dalam masyarakat Islam hanya terdapat pada ayat 4/3 yang berfungsi sampai akhir jaman sebagai hukum perlindungan dan bantuan terhadap janda beranak yatim ?
Mungkin sebaiknya kita mengkaji ulang ayat tersebut dari awal, bahwa diperbolehkannya menikah lebih dari satu orang istri adalah untuk keselamatan hidup anak-anak yatim atau juga untuk membantu meringankan kesengsaraan janda beranak yatim.
Dalam tafsiran atau terjemahan
AlQur'an, seringkali kita temui pengertian dari "AIMAAN" sebagai
"BUDAK", dan dengan berdalil pada 4/3 maka dikatakan bahwa orang
hendaklah mengawini budak, padahal dalam masyarakat Islam tiada yang dinamakan
budak, malah diutusnya Rasulullah Muhammad Saw salah satu fungsinya adalah
untuk menghapuskan perbudakan, mengangkat harkat dan martabat manusia menjadi
sama semuanya, tidak ada manusia yang lebih hina dari manusia lainnya, semuanya
dikembalikan pada takwa masing-masing individu.
Dikatakan pula dalam banyak tafsir ayat 4/3 tersebut bahwa orang hendaklah memakai budaknya, yaitu mencabuli budaknya tanpa nikah yang mana perbuatan tersebut merupakan satu perbuatan perzinaan yang dikutuk oleh Allah Swt.
Dalam hal ini penterjemahan kata
"AIMAAN" dengan pengertian BUDAK bukan saja keliru tetapi juga sudah
menghina hukum Islam dalam pengertian susila dan peradaban manusia ramai.
Sesungguhnya ayat 4/3 mengandung
penjelasan mengenai kehidupan janda beranak yatim. Perempuan itu hendaklah dinikahi oleh lelaki yang berkesanggupan sebagai sikap bersusila tinggi dalam sosial ekonomi masyarakat, hingga dengan demikian janda beranak yatim terpelihara dari
kekurangan kebutuhan hidup dari dari petualangan tanpa pelindung lahir batin,
sekaligus mengurangi kemungkinan terjunnya mereka kedalam lembah pelacuran.
Memang menikahi janda beranak yatim
sangat berat bagi seorang laki-laki, apalagi bila dia adalah seorang pemuda
yang belum pernah menikah sama sekali. Hal ini juga mungkin dirasakan cukup
mengganggu bagi mereka yang menganggap pernikahan sebagai jalan pelepas
kehendak syahwat.
Tetapi bagi lelaki yang mencapai
tingkat kepribadian dan ketakwaan tinggi terhadap Allah, maka menikahi janda
yang memiliki anak yatim mendatangkan kebahagiaan bagi dirinya dan rumah
tangganya.
Hal ini dulunya sudah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sewaktu beliau berusia 25 tahun, menurut catatan sejarah, telah menikahi seorang janda berumur 40 tahun bernama Siti Khadijjah, dimana pada waktu itu status Muhammad belumlah diangkat selaku Nabi, namun karena kepribadian pemuda yang berjuluk Al-Amin ini yang senantiasa mengharapkan keridhoan Tuhannya maka secara tidak langsung beliau adalah aplikasi nyata dari ayat 4/3 dan 24/33.
Sangat disayangkan bila kita perhatikan betapa ayat suci yang menyangkut dengan hukum pernikahan diterjemahkan orang dengan memasukkan istilah "budak" kedalamnya, seolah-olah masyarakat Islam banyak memiliki budak dan mengizinkan perzinahan.
Istilah MIMMAA MALAKAT AIMAANUKUM mereka maksudkan "BUDAK-BUDAK" padahal yang dimaksud adalah SIAPA YANG DIMILIKI TATA HUKUMMU karena terikat oleh pernikahan. Dalam hal ini termasuk mertua, ipar, anak tiri, ibu kandung, ibu tiri, bapak kandung, bapak tiri, menantu, anak dan cucu.
Islam mengatur dengan jelas kepada siapa-siapa saja seorang Muslim boleh melakukan pernikahannya dan begitupula sebaliknya, kepada siapa-siapa saja yang tidak boleh dinikahi :
Adapun yang tidak boleh dinikahi :
*****************************************
Perempuan musryik tidak boleh dinikahi lelaki Islam, sebaliknya, lelaki Musryik juga tidak boleh dinikahkan dengan perempuan Islam terdapat dalam ayat 2/221 dan 60/10.
Perempuan yang pernah jadi istri bapak
kandung, tidak boleh dinikahi menurut ayat 4/22.
Orang juga tidak boleh menikahi ibu
kandung, anak kandung, saudari kandung, saudari bapak kandung, saudari Ibu
kandung, anak saudara kandung, anak saudari kandung, mertua, anak tiri yang
ibunya sudah dicampuri, yang pernah jadi istri anak kandung. Juga tidak boleh
menikahi dua perempuan bersaudari kandung sekaligus. Semua ini tercantum dalam
ayat 4/23.
Mereka yang boleh untuk dinikahi :
******************************************
Perempuan yang terjaga dalam pemeliharaan ibu bapaknya, buka ayat 4/24Hamba sahaya perempuan [pembantu urusan] dengan perkenan majikan atau keluarga mereka, buka ayat 4/25 Perempuan dari Ahli Kitab yang menjaga kehormatannya, buka ayat 5/5
******************************************
Perempuan yang terjaga dalam pemeliharaan ibu bapaknya, buka ayat 4/24Hamba sahaya perempuan [pembantu urusan] dengan perkenan majikan atau keluarga mereka, buka ayat 4/25 Perempuan dari Ahli Kitab yang menjaga kehormatannya, buka ayat 5/5
Perempuan beriman yang lari dari suaminya yang kafir, boleh dinikahi setelah iddahnya habis dan setelah mas kawin yang diterimanya dikembalikan kepada bekas suaminya yang kafir itu.. Silahkan buka ayat 60/10.
Perempuan janda, buka ayat 24/32 dan
juga perempuan janda beranak yatim sebagaimana pada ayat 4/3.
Demikianlah adanya sedikit penguraian singkat seputar Pernikahan dan Perbudakan didalam Islam.
Wassalam,