Assalamu'alaykum Wr. Wb.
Berdasarkan kajian seputar peristiwa
Isra’ dan Mi’raj sebelumnya, maka disini penulis berpendapat bahwa Adam dan istrinya
memang tidak berasal dari planet bumi yang kita diami ini. Saat Allah hendak
menjadikan manusia sebagaii Khalifah dibumi, malaikat mengajukan pertanyaan
kepada-Nya dengan menyatakan bahwa manusia hanya akan menumpahkan darah saja
nantinya.
Hal ini cukup mengherankan bagi kita,
dari mana para Malaikat itu tahu mengenai hal ini, padahal saat itu manusia
belum lagi diciptakan Tuhan ? Jawaban yang paling masuk akal adalah bahwa
sebelum itu sudah pernah ada generasi manusia-manusia yang memiliki beberapa
perbedaan struktural phisik dengan kita; dan selama kurun waktu yang ada,
mereka hanya sibuk berperang dan saling membunuh.
Jika tiba-tiba Tuhan menyebutkan Dia
ingin menciptakan manusia jenis baru untuk menjadi Khalifah yang bertugas
sebagai pengatur pemberdayaan sumber alam dibumi, tentunya ini bertentangan
dengan pengetahuan yang sudah dikenal oleh para malaikat itu sebelumnya. Tetapi
Allah menegaskan, Dia lebih mengetahui apa yang Dia inginkan dan Dia
rencanakan.
Ingatlah, saat Tuhanmu berkata kepada
para malaikat : ‘Aku bermaksud untuk menjadikan seorang khalifah dibumi !’ ;
Mereka bertanya : ‘Kenapa Engkau hendak menjadikan dibumi itu orang yang akan
membuat kerusakan didalamnya dan menumpahkan darah ? ;
Padahal kami selalu bertasbih dengan
memuji Engkau dan mensucikan Engkau ? ; Dia menjawab : ‘Sesungguhnya Aku lebih
mengetahui apa saja yang tidak kamu ketahui.’ – Qs. 2 al-Baqarah : 30
Dari ilmu sejarah modern yang
data-datanya diperoleh berdasar hasil penemuan arkeologi terkni kita bisa
mengetahui bahwa bumi ini sudah diisi oleh makhluk sejenis manusia sejak lebih
kurang 50.000 tahun yang lalu, akan tetapi manusia-manusia tersebut memiliki
perbedaan yang mencolok dengan manusia modern yang disebut sebagai Homo
Sapiens.
Beberapa contohnya seperti Homo Erektus
yang fosilnya ditemukan di Trinil (Ngawi) tahun 1894 oleh Dr. Dubois, kemudian
Homo Sapiens Reanderthalensis yang ditemukan dilembah Neanderthal pada tahun
1896, Cro-Magnon dan sebagainya.
Homo Sapiens Reanderthalensis misalnya
memiliki wajah sangat menyeramkan, bertubuh pendek, tidak berdagu dan menonjol
diatas matanya.
Saya berpendapat, manusia-manusia purba
non Homo Sapiens inilah contoh kasus yang pernah disaksikan oleh para malaikat
dan diajukan mereka sebagai bukti kepada Allah saat Dia hendak menciptakan
manusia baru sebagai khalifah-Nya dibumi ini.
Dalam pemeriksaan arkeologi terhadap 41
lokasi yang berusia antara 1,8 juta hingga 10.000 tahun, Todd Surovell dari
Universitas Wyoming menemukan bahwa hubungan antara manusia purba dengan gajah
cocok dengan gelombang ekspansi populasi manusia.
Artinya, seiring dengan tumbuhnya
populasi manusia di suatu tempat, maka jumlah gajah turun - pada beberapa kasus
bahkan lenyap. Temuan tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa ekspansi geografis
manusia purba mengakibatkan kepunahan lokal gajah. Berlebihnya perburuan
mungkin menjadi penyebab utama hal ini, kata Surovell, namun pemecahan populasi
dianggap membuat kondisi makin parah (sumber : Kompas Cyber Media, http://www.kompas.com/teknologi/news/0504/20/160606.htm, dalam rubrik Sains
& Teknologi, Manusia purba ikut melenyapkan populasi gajah)
Jamal al-Nasir, Stories of The Prophets (www.DivineIslam.co.uk/DivineIslam/software/Prophets_Stories/) dalam komentarnya mengenai Adam dalam The Prophets of Almighty Allah, bahwa Ibn Qatadah dan Abdullah Ibn Umar menyatakan bahwa sebelum Allah menjadikan Adam dibumi ini, sudah ada penduduknya yang berasal dari kalangan Jin. Akan tetapi apa yang disampaikan oleh keduanya ini bukanlah perkataan langsung dari Nabi sendiri, bisa saja ini merupakan tafsir mereka mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang Adam.
Jamal al-Nasir, Stories of The Prophets (www.DivineIslam.co.uk/DivineIslam/software/Prophets_Stories/) dalam komentarnya mengenai Adam dalam The Prophets of Almighty Allah, bahwa Ibn Qatadah dan Abdullah Ibn Umar menyatakan bahwa sebelum Allah menjadikan Adam dibumi ini, sudah ada penduduknya yang berasal dari kalangan Jin. Akan tetapi apa yang disampaikan oleh keduanya ini bukanlah perkataan langsung dari Nabi sendiri, bisa saja ini merupakan tafsir mereka mengenai ayat-ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang Adam.
Untuk itu kita juga harus melakukan
analisa dari hasil penemuan arkeologi modern seputar fosil-fosil manusia purba
dan mencocokkannya dengan informasi yang disampaikan oleh al-Qur’an. Jika
memang baru pada penciptaan Adam sajalah bumi ini dihuni oleh manusia,
bagaimana kita menghubungkan Adam yang menurut al-Qur’an memiliki ilmu
pengetahuan melebihi malaikat dengan manusia purba yang masih berkutat dengan
jaman batunya ?
Dan Dia mengajarkan kepada Adam seluruh
nama-nama, lalu mengemukakannya kepada para malaikat dan Dia berfirman :
‘Jelaskanlah nama-nama benda itu
kepada-Ku bila memang kalian orang-orang yang benar ?’ ; Mereka menjawab:’Maha
Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah Engkau ajarkan
kepada kami’ ; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
– Qs. 2 al-Baqarah : 31-32
Memang al-Qur’an ada memberikan informasi bahwa Jin diciptakan lebih dahulu dari manusia namun konteksnya pada ayat tersebut hanya urutan penciptaan bukan dalam hal penempatan dibumi. Apalagi ayat al-Qur’an menceritakan dimana Jin dengan pemimpinnya yang bernama Iblis masih berada di Jannah saat Allah memerintahkan untuk bersujud kepada Adam, dan mereka baru keluar setelah diusir oleh Allah atas tindakan pembangkangan yang mereka lakukan.
Dan Kami telah menciptakan Jin sebelum Adam dari api yang sangat panas – Qs. 15 al-Hijr : 27
Tuhan berfirman : turunlah kamu dari
sana, sebab tidak sepantasnya kamu berlaku sombong didalamnya; sungguh kamu
termasuk kaum yang hina – Qs. 7 al-a’raaf : 13
Kehendak Allah untuk menjadikan Adam
selaku manusia pengganti generasi sebelumnya dibumi kita ini dicetuskan kepada
para Malaikat-Nya, dan apa yang dilakukan oleh Iblis dengan godaannya terhadap
Adam justru sebagai alat yang menjadi sebab peristiwa penurunan Adam dari
Jannah menjadi nyata dan inilah yang sebenarnya menjadi pertanda kesiapan Adam
untuk memulai misi utamanya diplanet bumi kita.
Polemik pohon terlarang pada kisah Adam
yang tercantum dalam al-Qur’an, telah mengundang perdebatan tiada henti
dikalangan agamawan tradisional hingga ulama modern dan liberal sekarang ini.
Berbagai pendapat telah menghiasi lembaran-lembaran halaman buku guna menyibak
misteri pohon tersebut, mulai dari yang menyatakan bahwa pohon ini terdapat
disurga yang berbeda dengan surganya orang-orang beriman kelak dihari kiamat
hingga penafsiran pohon tersebut tidak lebih dari sekedar simbolitas kepatuhan
dan keserakahan nafsu manusiawi Adam sudah menambah khasanah pengetahuan Islam.
Menarik bila kita melihat pendapat
Nazwar Syamsu yang menggambarkan pohon larangan ini sebagai sebuah larangan
persetubuhan Adam atas diri istrinya yang konon disebut-sebut bernama Hawa. (sumber
: Nazwar Syamsu, Tauhid dan Logika, al-Qur’an tentang al-Insan, Ghalia
Indonesia, Jakarta, Januari, 1983, hal. 201)
Disini Beliau menyebutkan bahwa arti
kata Syajarah tidaklah harus diterjemahkan sebagai Pohon, namun bisa
dianalogikan dengan pertumbuhan atau perkembangbiakan.
Nazwar Syamsu juga mengkritik para
penafsir Qur’an yang hanya memakai kamus bahasa Arab tradisional yang disusun
berdasarkan pengetahuan dan peradaban sesuai jaman yang berlaku kala itu,
padahal menurutnya al-Qur’an harus bisa dipahami dan diterjemahkan kedalam
konteks dunia modern dan seyogyanya pola penafsiran kitab sucipun harus
mengalami perkembangan.
Uniknya, Nazwar Syamsu bukanlah orang
pertama yang memberikan penafsiran kata Syajaratu sebagai larangan melakukan
hubungan seksual antara Adam dan istinya, Dr. M. Quraish Shihab menulis dalam
salah satu bukunya (yaitu Membumikan al-Qur’an, Penerbit Mizan, Bandung,
Oktober 1992, hal 98) bahwa jauh sebelum itu, Dr. Mustafa Mahmud juga
memberikan penafsiran yang serupa.
Bagi penulis sendiri, baik Nazwar
Syamsu maupun Mustafa Mahmud sekalipun tafsir keduanya dianggap telah menyalahi
kaidah bahasa yang berlaku, namun pendapat mereka bisa kita pahami secara
global dengan menghubungkan semua rangkaian cerita yang ada seputar Adam didalam
al-Qur’an.
Dan Kami katakan : Hai Adam, tinggallah
engkau dan istrimu di Jannah itu dan makanlah daripadanya sepuas apa yang
engkau kehendaki, dan janganlah mendekati Syajarah ini, jika itu kamu lakukan
maka kamu akan termasuk orang yang zalim. – Qs. 2 al-Baqarah : 35
Hai Adam ! Tinggallah engkau dan
istrimu di Jannah itu, makanlah yang mana saja engkau sukai, dan janganlah
mendekati Syajarah ini, maka kamu akan termasuk orang zalim. – Qs. 7 al-A’raaf
: 19
Setan menggoda keduanya dengan
bujuk-rayu, maka ketika keduanya merasakan Syajarah tersebut, tampaklah bagi
keduanya tubuh mereka masing-masing, lalu segera menutupi diri dengan daun-daun
Jannah. Dan Tuhan mereka menyeru kepada mereka : ‘Bukankah Aku mencegah kamu
seputar Syajarah ? Dan telah Aku peringatkan kalian bahwa setan itu merupakan
musuh yang nyata bagimu ! – Qs. al-A’raaf : 22
Sejak semula, Allah bermaksud
menjadikan manusia modern atau Homo Sapiens bernama Adam sebagai Khalifah atau
manusia baru menggantikan manusia generasi sebelumnya diplanet bumi kita ini.
Rencana Allah yang diungkapkan didalam al-Qur’an ini tidaklah dimulai dari bumi
ini sendiri, melainkan berada di Jannah, diseputar Sidratul Muntaha yang
berlokasi diufuk yang tinggi.
Sebagai pertanda telah tibanya waktu
penugasan Adam tersebut akan disertai oleh kemandirian dan kedewasaannya selaku
manusia paripurna. Kedewasaan dan kemandirian seorang laki-laki pada umumnya
mulai tampak sewaktu dia sudah berpikir untuk melakukan hubungan seksual dengan
seorang wanita. Disini secara bijaksana kita bisa melihat bahwa larangan Allah
hanya bersifat temporari atau sementara, dan ini juga bentuk ujian pertama
kepada Adam.
Jannah yang ada di Muntaha bukan tempat
permanen bagi hidup Adam dan generasinya sebab Allah telah menentukan Bumi inilah
tempat berdomisili Adam dan semua keturunannya, karena itu naluri meneruskan
keturunan disana tidak akan sesuai dengan kehendak Allah.
Meskipun demikian, Allah tidak ingin
rencana-Nya menjadikan Adam Khalifah dibumi berjalan melalui paksaan, karena itu
Allah sebelumnya telah memberi pengarahan kepada Adam dan istrinya agar tidak
mendekati perbuatan tersebut, namun manakala Adam akhirnya melanggar dengan
perantaraan setan, Allah tidak serta merta memutuskan tali kasih-Nya dengan
menjadikan perbuatan tersebut sebagai dosa yang menurun kepada anak-anak Adam,
Allah hanya menilai Adam telah lalai dari seruan-Nya dan Dia memaafkannya.
Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan
kepada Adam dahulu, namun ia lupa dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang
kuat
– Qs. 20 Thaha : 115
– Qs. 20 Thaha : 115
Saat Adam dan istrinya terpedaya oleh
setan dengan melakukan perbuatan yang sudah dilarang Allah ini, mereka
tersentak kaget dan langsung ingat bahwa mereka sudah melakukan sebuah
kesalahan. Karena itu al-Qur’an melukiskan Adam dan istrinya dengan sigap
mengambil daun-daun yang ada didalam Jannah tersebut guna menutupi aurat
masing-masing karena rasa malunya dan langsung memohon ampunan.
Keduanya berkata : Ya Tuhan kami, kami
telah menganiaya diri kami sendiri; dan jika Engkau tidak memberi ampunan serta
rahmat kepada kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang selalu merugi. - Qs.
7 al-A’raaf : 23
Lalu Tuhannya memilihnya dan Dia
menerima tobatnya dan memberikan petunjuk – Qs. 20 Thaha : 122
Allah maha bijaksana, seluruh hukum dan
ketetapan yang terjadi pada makhluk-makhlukNya berjalan sesuai rencana dan
terjadi dengan logis, tanpa mengabaikan hukum sebab akibat. Isyarat bahwa Adam
harus segera memulai tugas barunya memakmurkan bumi, menggantikan manusia purba
sudah tiba.
Ini bukan hukuman dari Allah, tetapi
justru suatu rahmat dan kehormatan bagi manusia yang sudah terpilih menjadi
wakil Allah dibumi. Karena itu konsep dosa turunan tidak pernah dikenal didalam
ajaran Islam.
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan
dari Jannah itu dan keluar dari keadaannya semula, lalu Kami berfirman :
“Turunlah kalian ! sebagian dari kamu
akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain. Bagi kalian ada tempat kediaman
dibumi serta kesenangan hidup sampai batas waktu yang sudah ditentukan.” – Qs.
2 al-Baqarah : 36
Istilah IHBITU atau turunlah adalah
kalimah perintah, dan ini memiliki arti turun dari tempat yang tinggi ketempat
yang lebih rendah, seperti dari gunung, dan juga dipakai dengan arti pindah
dari satu tempat kesatu tempat yang lain. Hal ini sama dengan yang dikatakan
oleh Qur'an pada turunnya Nabi Nuh dari kapal kedaratan, jatuhnya batu dari
tempat tinggi dan lain sebagainya.
Bagaimana dan dengan cara apa Adam
diturunkan kebumi ini memang tidak dijelaskan lagi oleh Allah didalam
al-Qur’an, namun bisa saja hal yang sama seperti kejadian pada Nabi Yehezkiel
dan Nabi Muhammad juga terjadi pada diri Adam dan istrinya. Artinya, Adam dan
istrinya diberangkatkan dari Jannah kebumi ini dengan suatu kendaraan antariksa
sejenis Buraq.
Ketika mereka tiba diplanet bumi kita
ini, kendaraan mereka itu dikandaskan oleh Allah disuatu tempat sehingga
terpisahlah Adam dan istrinya untuk sekian lamanya sehingga akhirnya mereka
kembali berjumpa di padang Arafah, berjarak 25 Km dari kota Mekkah dan 18 Km
dari Mina. (Arti dari Arafah sendiri adalah pertemuan).
Mereka didaratkan terpisah oleh Allah
sebagai pelajaran untuk mereka berdua agar dapat belajar mengendalikan hawa
nafsu mereka masing-masing sekaligus memberikan kesempatan kepada Adam dan
istrinya untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya dibumi ini yang
tidak jauh berbeda dengan keadaan sewaktu mereka masih di Jannah.
Hal ini dapat kita selami dari lamanya
waktu mereka berpisah begitu mereka diturunkan dibumi dari Jannah sehingga
menurut salah satu riwayat berjarak sekitar 200 tahunan (sumber : Drs. H.
Abujamin Roham, Aku Pergi Haji, Penerbit Media Da’wah, Jakarta, 1994, hal 134).
Mungkin kita menganggapnya tidak masuk
akal, namun kita bisa mengkorelasikan kejadian ini dengan usia Nabi Nuh yang
menurut al-Qur’an lamanya beliau tinggal bersama umatnya 950 tahun.(Lihat surah
29 al-‘Ankabut : 14) Juga usia ashabul Kahfi ketika tertidur didalam gua selama
309 tahun.(Lihat surah 18 al-Kahfi : 25)
Wassalam,