“Agama (Islam) itu adalah 
nasehat”.
Khaththabi berkata, “Maksudnya adalah bahwa tiang (yang menyangga) urusan agama ini adalah nasehat. Dengannya, agama ini akan tegak dan kuat” (I’lamul-hadits (I/190)).
Khaththabi berkata, “Maksudnya adalah bahwa tiang (yang menyangga) urusan agama ini adalah nasehat. Dengannya, agama ini akan tegak dan kuat” (I’lamul-hadits (I/190)).
Ibnu Hajar berkata, “Boleh jadi (kalimat ini) 
bermakna mubalaghah (melebihkan suatu perkara). Maksudnya (bahwa) sebagian besar 
agama ini (isinya) adalah nasehat. Ini serupa dengan hadits: ‘Haji itu 
Arafah’.
Bisa jadi pula bermakna sebagaimana lahirnya 
lafal tersebut (yakni tidak lain agama ini adalah nasehat), karena setiap amalan 
yang dilakukan oleh seseorang tanpa ikhlas maka hal itu bukan termasuk bagian 
agama.” (Fathul Bari (I/167))
“Nasehat bagi 
Allah”
Yaitu, beriman kepada-Nya semata dengan tidak mempersekutukan diri-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan segala bentuk penyimpangan dan pengingkaran terhadap sifat-sifat-Nya, mensifati-Nya dengan segala sifat kesempurnaan dan kebesaran, mensucikan-Nya dari segala kekurangan, mentaati-Nya dengan tidak bermaksiat kepada-nya, cinta dan benci karena-Nya, bersikap wala’ (loyal) kepada orang-orang yang mentaati-Nya dan membenci orang-orang yang menentang-Nya, memerangi orang-orang yang kufur terhadap-Nya, mengakui dan mensyukuri segala nikmat dari-Nya, dan ikhlas dalam segala urusan, mengajak dan menganjurkan manusia untuk berperilaku dengan sifat-sifat di atas, serta berlemah lembut terhadap mereka atau sebagian mereka dengan sifat-sifat tersebut.
Yaitu, beriman kepada-Nya semata dengan tidak mempersekutukan diri-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan segala bentuk penyimpangan dan pengingkaran terhadap sifat-sifat-Nya, mensifati-Nya dengan segala sifat kesempurnaan dan kebesaran, mensucikan-Nya dari segala kekurangan, mentaati-Nya dengan tidak bermaksiat kepada-nya, cinta dan benci karena-Nya, bersikap wala’ (loyal) kepada orang-orang yang mentaati-Nya dan membenci orang-orang yang menentang-Nya, memerangi orang-orang yang kufur terhadap-Nya, mengakui dan mensyukuri segala nikmat dari-Nya, dan ikhlas dalam segala urusan, mengajak dan menganjurkan manusia untuk berperilaku dengan sifat-sifat di atas, serta berlemah lembut terhadap mereka atau sebagian mereka dengan sifat-sifat tersebut.
Khaththabi berkata, “Hakekat idhafah 
(penyandaran) nasehat kepada Allah –sebenarnya- kembali kepada hamba itu 
sendiri, karena Allah tidak membutuhkan nasehat manusia”. (Syarah Shahih 
Muslim (II/33), dan lihat I’lamul-Hadits (I/191)).
“Nasehat bagi Kitab 
Allah”.
Yaitu, mengimani bahwa Kitab Allah adalah Kalamullah (wahyu dari-Nya) yang Dia turunkan (kepada Rasul-Nya) yang tidak serupa sedikit pun dengan perkataan makhluk-Nya, dan tiada seorang makhluk pun yang sanggup membuat yang serupa dengannya. Mengagungkannya, membacanya dengan sebenar-benarnya (sambil memahami maknanya) dengan membaguskan bacaan, khusyu’, dan mengucapkan huruf-hurufnya dengan benar. Membelanya dari penakwilan (batil) orang-orang yang menyimpang dan serangan orang-orang yang mencelanya. Membenarkan semua isinya, menegakkan hukum-hukumnya, menyerap ilmu-ilmu dan perumpamaan-perumpamaan (yang terkandung) di dalamnya. Mengambil ibrah (pelajaran) dari peringatan-peringatannya.
Yaitu, mengimani bahwa Kitab Allah adalah Kalamullah (wahyu dari-Nya) yang Dia turunkan (kepada Rasul-Nya) yang tidak serupa sedikit pun dengan perkataan makhluk-Nya, dan tiada seorang makhluk pun yang sanggup membuat yang serupa dengannya. Mengagungkannya, membacanya dengan sebenar-benarnya (sambil memahami maknanya) dengan membaguskan bacaan, khusyu’, dan mengucapkan huruf-hurufnya dengan benar. Membelanya dari penakwilan (batil) orang-orang yang menyimpang dan serangan orang-orang yang mencelanya. Membenarkan semua isinya, menegakkan hukum-hukumnya, menyerap ilmu-ilmu dan perumpamaan-perumpamaan (yang terkandung) di dalamnya. Mengambil ibrah (pelajaran) dari peringatan-peringatannya.
Memikirkan hal-hal yang menakjubkan di dalamnya. 
Mengamalkan ayat-ayat yang muhkam (yang jelas) disertai dengan sikap taslim 
(menerima sepenuh hati) ayat-ayat yang mutasyabih (yang sulit) – yakni bahwa 
semuanya dari Allah-. Meneliti mana yang umum (maknanya) dan mana yang khusus, 
mana yang nasikh (yang menghapus hukum yang lain) dan mana yang mansukh (yang 
dihapus hukumnya). Menyebarkan (mengajarkan) ilmu-ilmunya dan menyeru manusia 
untuk berpedoman dengannya, dan seterusnya yang bisa dimasukkan dalam makna 
nasehat bagi Kitabullah (Syarh Shahih Muslim (II/33), dan lihat juga 
I’lamul-Hadits (I/191-192)).
“Nasehat bagi 
Rasulullah”.
Yaitu, membenarkan kerasulan beliau, mengimani segala yang beliau bawa, mentaati perintah dan larangan beliau, membela dan membantu (perjuangan) beliau semasa beliau hidup maupun setelah wafat, membenci orang-orang yang membenci beliau dan menyayangi orang-orang yang loyal kepada beliau, mengagungkan hak beliau, menghormati beliau dengan cara menghidupkan sunnah beliau, ikut menyebarkan dakwah dan syariat beliau, dengan membendung segala tuduhan terhadap sunnah beliau tersebut, mengambil ilmu dari sunnah beliau dengan memahami makna-maknanya, menyeru manusia untuk berpegang dengannya, lemah lembut dalam mempelajari dan mengajarkannya, mengagungkan dan memuliakan sunnah beliau tersebut, beradab ketika membacanya, tidak menafsirkannya dengan tanpa ilmu, memuliakan orang-orang yang memegang dan mengikutinya. Meneladani akhlak dan adab-adab yang beliau ajarkan, mencintai ahli bait dan para sahabat beliau, tidak mengadakan bid‘ah terhadap sunnah beliau, tidak mencela seorang pun dari para sahabat beliau, dan makna-makna lain yang semisalnya (Syarah Shahih Muslim (2/33), dan lihat juga I’lam al-Hadits (1/192)).
Yaitu, membenarkan kerasulan beliau, mengimani segala yang beliau bawa, mentaati perintah dan larangan beliau, membela dan membantu (perjuangan) beliau semasa beliau hidup maupun setelah wafat, membenci orang-orang yang membenci beliau dan menyayangi orang-orang yang loyal kepada beliau, mengagungkan hak beliau, menghormati beliau dengan cara menghidupkan sunnah beliau, ikut menyebarkan dakwah dan syariat beliau, dengan membendung segala tuduhan terhadap sunnah beliau tersebut, mengambil ilmu dari sunnah beliau dengan memahami makna-maknanya, menyeru manusia untuk berpegang dengannya, lemah lembut dalam mempelajari dan mengajarkannya, mengagungkan dan memuliakan sunnah beliau tersebut, beradab ketika membacanya, tidak menafsirkannya dengan tanpa ilmu, memuliakan orang-orang yang memegang dan mengikutinya. Meneladani akhlak dan adab-adab yang beliau ajarkan, mencintai ahli bait dan para sahabat beliau, tidak mengadakan bid‘ah terhadap sunnah beliau, tidak mencela seorang pun dari para sahabat beliau, dan makna-makna lain yang semisalnya (Syarah Shahih Muslim (2/33), dan lihat juga I’lam al-Hadits (1/192)).
“Nasehat bagi para imam/pemimpin kaum 
muslimin”.
Artinya, membantu dan mentaati mereka di atas kebenaran. Memerintahkan dan mengingatkan mereka untuk berdiri di atas kebenaran dengan cara yang halus dan lembut. Mengabarkan kepada mereka ketika lalai dari menunaikan hak-hak kaum muslimin yang mungkin belum mereka ketahui, tidak memberontak terhadap mereka, dan melunakkan hati manusia agar mentaati mereka.
Artinya, membantu dan mentaati mereka di atas kebenaran. Memerintahkan dan mengingatkan mereka untuk berdiri di atas kebenaran dengan cara yang halus dan lembut. Mengabarkan kepada mereka ketika lalai dari menunaikan hak-hak kaum muslimin yang mungkin belum mereka ketahui, tidak memberontak terhadap mereka, dan melunakkan hati manusia agar mentaati mereka.
Imam al-Khaththabi menambahkan, “Dan termasuk 
dalam makna nasehat bagi mereka adalah shalat di belakang mereka, berjihad 
bersama mereka, menyerahkan shadaqah-shadaqah kepada mereka, tidak memberontak 
dan mengangkat pedang (senjata) terhadap mereka –baik ketika mereka berlaku 
zhalim maupun adil-, tidak terpedaya dengan pujian dusta terhadap mereka, dan 
mendoakan kebaikan untuk mereka. Semua itu dilakukan bila yang dimaksud dengan 
para imam adalah para khalifah atau para penguasa yang menangani urusan kaum 
muslimin, dan inilah yang masyhur”. Lalu beliau melanjutkan, “Dan bisa juga 
ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan para imam adalah para ulama, dan nasehat 
bagi mereka berarti menerima periwayatan mereka, mengikuti ketetapan hukum 
mereka (tentu selama mengikuti dalil), serta berbaik sangka (husnu zh-zhan) 
kepada mereka”. (Syarah Shahih Muslim (2/33-34), I’lam al-Hadits 
(1/192-193)).
“Nasehat bagi kaum muslimin 
umumnya”.
Artinya, membimbing mereka menuju kemaslahatan dunia dan akhirat, tidak menyakiti mereka, mengajarkan kepada mereka urusan agama yang belum mereka ketahui dan membantu mereka dalam hal itu baik dengan perkataan maupun perbuatan, menutup aib dan kekurangan mereka, menolak segala bahaya yang dapat mencelakakan mereka, mendatangkan manfaat bagi mereka, memerintahkan mereka melakukan perkara yang ma’ruf dan melarang mereka berbuat mungkar dengan penuh kelembutan dan ketulusan. Mengasihi mereka, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda dari mereka, diselingi dengan memberi peringatan yang baik (mau‘izhah hasanah), tidak menipu dan berlaku hasad (iri) kepada mereka, mencintai kebaikan dan membenci perkara yang tidak disukai untuk mereka sebagaimana untuk diri sendiri, membela (hak) harta, harga diri, dan hak-hak mereka yang lainnya baik dengan perkataan maupun perbuatan, menganjurkan mereka untuk berperilaku dengan semua macam nasehat di atas, mendorong mereka untuk melaksanakan ketaatan dan sebagainya (Syarh Shahih Muslim (II/34), I’lamul-Hadits (I/193)).
Artinya, membimbing mereka menuju kemaslahatan dunia dan akhirat, tidak menyakiti mereka, mengajarkan kepada mereka urusan agama yang belum mereka ketahui dan membantu mereka dalam hal itu baik dengan perkataan maupun perbuatan, menutup aib dan kekurangan mereka, menolak segala bahaya yang dapat mencelakakan mereka, mendatangkan manfaat bagi mereka, memerintahkan mereka melakukan perkara yang ma’ruf dan melarang mereka berbuat mungkar dengan penuh kelembutan dan ketulusan. Mengasihi mereka, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda dari mereka, diselingi dengan memberi peringatan yang baik (mau‘izhah hasanah), tidak menipu dan berlaku hasad (iri) kepada mereka, mencintai kebaikan dan membenci perkara yang tidak disukai untuk mereka sebagaimana untuk diri sendiri, membela (hak) harta, harga diri, dan hak-hak mereka yang lainnya baik dengan perkataan maupun perbuatan, menganjurkan mereka untuk berperilaku dengan semua macam nasehat di atas, mendorong mereka untuk melaksanakan ketaatan dan sebagainya (Syarh Shahih Muslim (II/34), I’lamul-Hadits (I/193)).
Keutamaan Orang yang Memberi 
Nasehat
Menasehati hamba-hamba Allah kepada hal yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat mereka merupakan tugas para rasul. Allah mengabarkan perkataan nabi-Nya, Hud, ketika menasehati kaumnya, “Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepada kalian dan aku ini hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (Q.S. Al-A‘raf: 68).
Menasehati hamba-hamba Allah kepada hal yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat mereka merupakan tugas para rasul. Allah mengabarkan perkataan nabi-Nya, Hud, ketika menasehati kaumnya, “Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepada kalian dan aku ini hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (Q.S. Al-A‘raf: 68).
Allah juga menyebutkan perkataan nabi-Nya, 
Shalih, kepada kaumnya setelah Allah menimpakan bencana kepada mereka, “Maka 
Shalih berkata, ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat 
Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai 
orang-orang yang memberi nasehat’” (Q.S. Al-A‘raf: 79).
Maka seorang hamba akan memperoleh kemuliaan 
manakala dia melaksanakan apa yang telah dilakukan oleh para nabi dan rasul. 
Nasehat merupakan salah satu sebab yang menjadikan tingginya derajat para nabi, 
maka barangsiapa yang ingin ditinggikan derajatnya di sisi Allah, Pencipta 
langit dan bumi, maka hendaknya dia melaksanakan tugas yang agung ini 
(Qawaid wa Fawaid (hal. 94-95)).
Hukum Nasehat
Imam Nawawi menukil perkataan Ibnu Baththal, “(Memberi) nasehat itu hukumnya fardhu (kifayah) yang telah cukup bila ada (sebagian) orang yang melakukannya dan gugur dosa atas yang lain.” Lebih lanjut Ibnu Baththal berkata, “Nasehat adalah suatu keharusan menurut kemampuan (masing-masing) apabila si pemberi nasehat tahu bahwa nasehatnya akan diterima dan perintahnya akan dituruti serta aman dari perkara yang tidak disukainya (yang akan menyakitinya). Adapun jika dia khawatir akan menyebabkan bahaya (yang mencelakakan dirinya), maka dalam hal ini ada kelapangan baginya, wallahu a’lam” (Syarah Shahih Muslim (II/34)).
Imam Nawawi menukil perkataan Ibnu Baththal, “(Memberi) nasehat itu hukumnya fardhu (kifayah) yang telah cukup bila ada (sebagian) orang yang melakukannya dan gugur dosa atas yang lain.” Lebih lanjut Ibnu Baththal berkata, “Nasehat adalah suatu keharusan menurut kemampuan (masing-masing) apabila si pemberi nasehat tahu bahwa nasehatnya akan diterima dan perintahnya akan dituruti serta aman dari perkara yang tidak disukainya (yang akan menyakitinya). Adapun jika dia khawatir akan menyebabkan bahaya (yang mencelakakan dirinya), maka dalam hal ini ada kelapangan baginya, wallahu a’lam” (Syarah Shahih Muslim (II/34)).
Namun, menengok kepada maknanya yang menyeluruh, 
nasehat itu ada yang fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah, ada yang wajib dan 
ada yang mustahab. Karena Nabi menjelaskan bahwa agama itu adalah nasehat, 
sementara agama itu ada di antaranya yang wajib dan ada yang mustahab, ada yang 
merupakan fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah (Qawaid wa Fawaid (hal. 
95)).
Hal yang serupa telah dikatakan oleh Muhammad bin 
Nashr dalam kitabnya Ta‘zhim Qadra ash-Shalat seperti dinukil oleh Ibnu Rajab 
dalam Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam , katanya, “Dan ia (nasehat) terbagi menjadi dua, 
ada yang fardhu (wajib) dan ada yang nafilah (sunnah/dianjurkan)”. Lalu beliau 
memerinci hal tersebut secara panjang lebar yang tidak dapat kami muat disini 
(Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/207-210)).
Faedah-Faedah
1. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu khitab (penyampaian). Ini diambil dari kalimat: ‘Kami (para sahabat) bertanya, ‘untuk siapa?’”. (Fathul Bari (1/167), cet. Dar ar-Rayyan lit-Turats).
1. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu khitab (penyampaian). Ini diambil dari kalimat: ‘Kami (para sahabat) bertanya, ‘untuk siapa?’”. (Fathul Bari (1/167), cet. Dar ar-Rayyan lit-Turats).
Dan bahwa nasehat itu dinamakan agama dan Islam, 
dan bahwa agama ini ada yang berupa perbuatan sebagaimana ada yang berupa 
perkataan (Qawaid wa Fawaid (hal. 95)).
2. Perkataan Imam Bukhari dalam shahihnya, “Bab 
sabda Nabi, ‘Ad-diinun nashiihah, lillahi, wa lirasulihi, wa liaimmatil muslimin 
wa ‘ammatihim’ Wa Qouluhu Ta’ala (wa idzaa nashohu lillahi walirasuulihi)” dalam 
kitab ‘al-Iman’, untuk menunjukkan bahwa nasehat merupakan bagian dari iman 
(Qawaid wa Fawaid (hal. 96)).
Wallahu A’lam .
Dari Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari, bahwa Nabi telah 
bersabda, “Agama (Islam) itu adalah nasehat.” (beliau mengulanginya tiga 
kali), Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk 
Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin, dan kaum muslimin 
umumnya.”
Takhrij Hadits 
Ringkas
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 55) di dalam Shahih-nya di dalam Kitab al-Iman: Bab Bayan Anna ad-Din an-Nashihah (II/32-Syarah an Nawawi), dari tiga jalur yang semuanya bertemu pada Suhail bin Abu Shalih dari ‘Atha’ bin Yazid al-Laitsi dari Tamim ad-Dari. Riwayat inilah yang paling masyhur dalam periwayatan hadits ini.
Sedangkan Imam Bukhari hanya menyebutkannya -dengan lafal serupa- dalam judul sebuah bab dalam Shahih-nya, yaitu Bab Qaul an-Nabi: ad-Din an-Nashihah, lilLahi, wa li Rasulihi, wa li Aimmati l-Muslimin wa ‘Ammatihim di dalam Kitab al-Iman (I/166-Fathul Bari), karena Suhail bin Abu Shalih tidak memenuhi syarat (kriteria) shahih beliau.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 55) di dalam Shahih-nya di dalam Kitab al-Iman: Bab Bayan Anna ad-Din an-Nashihah (II/32-Syarah an Nawawi), dari tiga jalur yang semuanya bertemu pada Suhail bin Abu Shalih dari ‘Atha’ bin Yazid al-Laitsi dari Tamim ad-Dari. Riwayat inilah yang paling masyhur dalam periwayatan hadits ini.
Sedangkan Imam Bukhari hanya menyebutkannya -dengan lafal serupa- dalam judul sebuah bab dalam Shahih-nya, yaitu Bab Qaul an-Nabi: ad-Din an-Nashihah, lilLahi, wa li Rasulihi, wa li Aimmati l-Muslimin wa ‘Ammatihim di dalam Kitab al-Iman (I/166-Fathul Bari), karena Suhail bin Abu Shalih tidak memenuhi syarat (kriteria) shahih beliau.
Riwayat yang mengisyaratkan pengulangan, dengan 
kalimat ‘tsalaasan‘ (mengulanginya tiga kali) pada hadits di atas, terdapat 
dalam riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dan inilah yang dibawakan oleh Ibnu 
Rajab dalam Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/202, hadits no. 7). Sedangkan 
Imam an Nawawi dalam al-Arbain (hadits no.7) membawakannya tanpa 
pengulangan dengan isyarat lafal (tsalaatsan).
Biografi Periwayat 
Hadits
Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari 
Beliau adalah Tamim bin Aus bin Kharijah bin Sud bin Judzaimah al-Lukhami al-Filisthini (dari Palestina), Abu Ruqayyah ad-Dari. Beliau masuk Islam pada tahun 9 H. Sebelumnya beliau seorang nasrani, bahkan salah seorang pendeta di Palestina. Pada suatu waktu terjadi pada dirinya sebuah kisah yang menakjubkan, yaitu kisah al-Jassasah [seekor hewan melata berbulu lebat yang berbicara kepada Tamim ad-Dari, yang juga akan berbicara kepada manusia kelak di akhir jaman - Lihat an-Nihayah (V/268) dan Lisanul-Arab (I/786)].
Beliau adalah Tamim bin Aus bin Kharijah bin Sud bin Judzaimah al-Lukhami al-Filisthini (dari Palestina), Abu Ruqayyah ad-Dari. Beliau masuk Islam pada tahun 9 H. Sebelumnya beliau seorang nasrani, bahkan salah seorang pendeta di Palestina. Pada suatu waktu terjadi pada dirinya sebuah kisah yang menakjubkan, yaitu kisah al-Jassasah [seekor hewan melata berbulu lebat yang berbicara kepada Tamim ad-Dari, yang juga akan berbicara kepada manusia kelak di akhir jaman - Lihat an-Nihayah (V/268) dan Lisanul-Arab (I/786)].
Dalam kisah itu terdapat cerita tentang Dajjal 
yang akan keluar nanti di akhir jaman – semoga Allah melindungi kita dari 
kejahatannya-. Nabi meriwayatkan kisah ini dari beliau (Tamim), dan ini sebagai 
salah satu keutamaan beliau (selengkapnya kisah al-Jassasah ini dalam Shahih 
Muslim (hadits no. 2942).
Semenjak masuk Islam, beliau tinggal di Madinah 
sampai terbunuhnya Khalifah Utsman bin ‘Affan. Setelah itu beliau pindah ke 
Baitul Maqdis di Palestina, tepatnya di desa ‘Ainun. Beliau termasuk salah 
seorang sahabat yang mengumpulkan al-Qur’an. Ada sekitar 40 hadits yang beliau 
riwayatkan dari Nabi, satu di antaranya terdapat dalam Shahih Muslim, yaitu 
hadits ini. Hidup beliau dipenuhi dengan ibadah. Beliau giat bertahajjud (shalat 
malam), dan membaca al-Qur’an. Beliau wafat pada tahun 40 H di Bait Jabrin, 
Palestina, tanpa meninggalkan seorang anak pun, kecuali Ruqayyah. Semoga Allah 
meridhai beliau. (Lihat biografinya dalam al-Ishabah (I/367), al-Isti‘ab 
(I/193), Siyar A‘lamin Nubala’ (II/442), ats-Tsiqat (III/39), 
dll).
Makna Kata dan 
Kalimat
Kata (ad-din) secara bahasa memiliki sejumlah makna, antara lain makna al-jaza’ (pembalasan), al-hisab (perhitungan), al-‘adah (kebiasaan), ath-tha‘ah (ketaatan), dan al-Islam (ajaran/agama Islam). Makna yang terakhir inilah yang dimaksud dalam hadits ini.
Kata (ad-din) secara bahasa memiliki sejumlah makna, antara lain makna al-jaza’ (pembalasan), al-hisab (perhitungan), al-‘adah (kebiasaan), ath-tha‘ah (ketaatan), dan al-Islam (ajaran/agama Islam). Makna yang terakhir inilah yang dimaksud dalam hadits ini.
Kata (an-nashihah) berasal dari kata (an-nushhu) 
yang memiliki beberapa pengertian.
a. (al-Khulush) berarti murni (Lisanul-Arab 
(II/616), an-Nihayah (V/62), seperti dalam kalimat :
(alkhaalisu minal ‘asali) ‘Madu yang murni’. Perkataan dan perbuatan yang murni (bersih) dari 
kotoran dusta dan khianat adalah bagaikan madu yang murni (bersih) dari 
lilin (I‘lamu l-Hadits (I/190), dan Syarah Shahih Muslim 
(II/33)).
b. (‘al-Khiyathah/al-Khaith’) berarti 
‘menjahit/ menyulam dengan jarum’ (Lisanul-Arab (II/617), Fathul 
Bari (I/167). Perbuatan seseorang yang menyampaikan nasehat kepada 
saudaranya yang melakukan kesalahan demi kebaikan saudaranya, adalah bagaikan 
orang yang menjahit/menyulam baju yang robek/berlubang sehingga baik kembali dan 
layak dipakai. (I’lamul-Hadits (I/190) dan Syarah Shahih Muslim 
(II/33).
Adapun menurut istilah syar’i, Ibnu al-Atsir 
menyebutkan, “Nasehat adalah sebuah kata yang mengungkapkan suatu kalimat yang 
sempurna, yaitu keinginan (memberikan) kebaikan kepada orang yang dinasehati. 
Makna tersebut tidak bisa diungkapkan hanya dengan satu kata, sehingga harus 
bergabung dengannya kata yang lain” (An-Nihayah (V/62). Ini semakna 
dengan defenisi yang disampaikan oleh Imam Khaththabi. Beliau berkata, “Nasehat 
adalah sebuah kata yang jami‘ (luas maknanya) yang berarti mengerahkan segala 
yang dimiliki demi (kebaikan) orang yang dinasihati. Ia merupakan sebuah kata 
yang ringkas (namun luas maknanya). Tidak ada satu kata pun dalam bahasa Arab 
yang bisa mengungkapkan makna dari kata (nasehat) ini, kecuali bila digabung 
dengan kata lain.” (I’lamul-Hadits (I/189-190) dan Syarah Shahih 
Muslim (II/32-33), lihat Fathul Bari (I/167)).
Kedudukan Hadits
Abu Dawud menyebutkan bahwa hadits ini adalah salah satu dari lima hadits yang kepadanya Fikih Islam bermuara (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/25 dan 203).
Abu Dawud menyebutkan bahwa hadits ini adalah salah satu dari lima hadits yang kepadanya Fikih Islam bermuara (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/25 dan 203).
Abu Nu’aim mengatakan bahwa hadits ini memiliki 
kedudukan yang agung, yang dikatakan oleh Muhammad bin Aslam ath-Thusi bahwa dia 
adalah seperempat agama (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/25 dan 203) dan Fathul 
Bari (I/167)).
Bahkan, agama ini hanya bermuara kepadanya, 
seperti dikatakan oleh an Nawawi (Syarah Shahih Muslim 
(II/32)).
Ibnu Rajab berkata, “Nabi telah mengabarkan bahwa 
agama itu adalah nasehat. Hal ini menunjukkan bahwa nasehat mencakup Islam, 
Iman, dan Ihsan yang tersebut dalam hadits-Jibril (Muslim (hadits no. 8) dari 
Umar bin al-Khaththab)” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (1/206)).
Diambil dari Majalah 
Fatawa